Gelombang protes melanda negeri pasca-pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Undang undang Cipta Kerja hanyalah salah satu bagian dari omnibus law.
Dalam Omnibus law, terdapat tiga undang undang yang dibahas. Yakni, UU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Omnibus Law Cipta Kerja memang jadi UU yang paling banyak jadi sorotan publik. Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial. Secara substansi, UU Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia.
Ketika disahkan Senin (5/10) lalu, enam fraksi menerima secara bulat. Yakni, PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP. Fraksi PAN menerima dengan catatan. Dan dua Fraksi yang menolak pengesahan itu adalah Demokrat dan PKS.
Selain melakukan penolakan, Demokrat bahkan melakukan manuver politik walk out. Demokrat menilai proses pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja ini terlampau cepat dan mencurigakan.
"Ini jadi pertanyaan kita. Ada apa kok kaya pencuri datang di malam hari, saat gelap. Tiba-tiba ga ada ujung pangkal, pembahasan tidak mendalam, ada apa?" kata anggota Fraksi Demokrat, Benny K Harman.
Penolakan serupa, dengan harmoni suara yang berbeda juga ditunjukkan oleh berbagai elemen. Mulai dari serikat pekerja, akademisi, politisi hingga tokoh-tokoh nasional dan organisasi keagamaan.
“Kalau sistem kerja outsourcing, maka tidak akan ada jaminan hari tua dan pensiun. Dan pesangon pun tidak akan didapatkan pekerja berstatus outsourcing apalagi kalau berhubungan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja,” ujar Wakil Presiden KSPI Iswan Abdullah.
Senada dengan buruh dan pekerja, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja menilai, negara harus hadir untuk yang lemah serta mewujudkan kesejahteraan buruh.
“Kita tentu ingin pengusaha juga tetap berkembang tapi jangan sampai hak buruh hilang. Yang harus terjadi adalah, negara harus hadir bagi pihak yang lemah, negara harus wujudkan kesejahteraan bagi buruh,… dalam pandangan saya omnibus law ini sesat dalam kerangka,” kata Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.
UU Ciptaker ini juga sempat mendapat sorotan internasional. 35 lembaga investasi global yang semestinya dapat memetik buah yang manis dari UU Ciptaker ini justru mengkritik dan mengungkapkan keresahannya. Mereka mengingatkan Pemerintah Indonesia akan konsekuensi rusaknya lingkungan dan meminta Pemerintah bernegosiasi membuka pintu dialog kembali dengan serikat-serikat pekerja.
Di lain sisi Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menegaskan Undang-undang Cipta Kerja bertujuan untuk memperluas penyediaan lapangan kerja, bukan sebaliknya. Ida juga menjamin undang-undang ini melindungi hak pekerja jika terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain itu, Menaker mengaku bahwa sebelum diserahkan ke DPR untuk disahkan, pembahasan rancangan UU Cipta Kerja sudah dilakukan dengan partisipasi publik yang melibatkan serikat pekerja, pengusaha, dan akademisi.
"Pemerintah menegaskan sekali lagi bahwa proses penyusunan RUU Cipta Kerja telah melibatkan partisipasi publik,” kata dia.
Untuk klaster ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan mengundang serikat pekerja/buruh, pengusaha, akademisi dari perguruan tinggi dan mendengarkan aspirasi dari International Labour Organization (ILO).
Menurut Menaker Ida, saat Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja pada 24 April 2020, Kemnaker memanfaatkan momentum itu untuk mengundang perwakilan serikat pekerja/buruh dan APINDO yang tergabung dalam Tripartit Nasional demi memperdalam rumusannya.
Setali tiga uang dengan Menaker, Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ahmad Baidlowi, menegaskan bahwa UU Ciptaker tidak bisa memuaskan semua orang. Menurutnya DPR RI harus menjadi jembatan bagi pekerja dan pengusaha.