Pro-kontra terjadi di tengah masyarakat mengenai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Bahkan warganet di berbagai media sosial pun riuh memperbincangkan berbagai versi UU Cipta Kerja yang draf akhirnya justru baru muncul setelah UU tersebut disahkan.
tvOne mencatat paling tidak ada lima versi draf yang diperbincangkan, yang pertama adalah yang berjumlah 1.028 halaman, 905 halaman, 1.062 halaman, 1.035 halaman, hingga draf final yang berjumlah 812 halaman. Draf versi terakhir inilah yang diberikan kepada Kemensetneg sebelum disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo.
Dalam konferensi pers pimpinan DPR RI belum lama ini, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengungkapkan bahwa sembilan fraksi DPR ikut dalam rapat penyusunan draf RUU Cipta Kerja. Rapat dengar pendapat umum (RDPU) juga sudah dilakukan sebanyak 89 kali dan mengundang sejumlah tokoh masyarakat, buruh, pendidikan, dan pengusaha.
"Sembilan fraksi dalam pembahasan dari rapat kerja sampai rapat tingkat I sepakat, seperti yang sudah beredar dalam pemberitaan," ujarnya kepada awak media.
Ia melanjutkan, begitu UU Cipta Kerja ini dikirim kepada presiden maka secara resmi UU ini menjadi milik publik. Ada pun data rekaman pembicaraan dalam rapat-rapat juga akan dilampirkan kepada Pemerintahan.
Terkait dengan perubahan jumlah halaman yang menjadi kecurigaan banyak pihak, Azis mengakui bahwa itu terjadi karena ada proses editing "tentang kualitas dan besarnya kertas yang diketik".
"Proses yang dilakukan di baleg (badan legislasi) itu menggunakan kertas biasa. Tapi pada saat masuk tingkat II proses pengetikannya masuk di kesekjenan menggunakan legal paper yang sudah menjadi syarat ketentuan dalam undang-undang. Sehingga besarnya, tipisnya, perkembangannya ada yang 1000 sekian halaman ada yang tiba-tiba 900 sekian, tapi begitu dilakukan pengetikan secara final, pengetikan secara final berdasarkan legal drafter, total jumlah pasal dan kertas hanya sebesar 812 halaman," papar Azis.
Akademisi dan pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengungkapkan kekhawatirannya mengenai hal tersebut. Ia mengatakan jika ingin membuat undang-undang yang baik maka sejatinya saat rapat paripurna sudah harus ada draf final dan dibagikan ke semua anggota DPR. Hal ini agar tidak ada keragu-raguan draf mana yang sebenarnya disetujui dalam rapat paripurna tersebut.
"Karena kalau tidak, orang bisa pegang draf masing-masing dan merasa draf itulah yang benar. Lalu kemudian tiba-tiba ada perubahan setelah paripurna yang sebenarnya ilegal kalau itu menyangkut substansi," ungkapnya.
Refly juga berpendapat tidak ada gunanya membuat undang-undang secara terburu-buru yang jauh dari prinsip good governance (pemerintahan yang baik) serta clean government (pemerintah yang bersih dan akuntabel).
Seperti yang telah diketahui, Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar menyerahkan draft final Undang-undang (UU) Cipta Kerja (Omnibus Law) kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Rabu (14/10) kemarin. Dari Pratikno draf ini akan langsung diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
Sesuai ketentuan undang-undang nomor 12 tahun 2011 DPR RI memiliki waktu paling lambat tujuh hari untuk menyerahkan draf UU Cipta Kerja kepada presiden Republik Indonesia. Sekjen DPR RI Indra Iskandar berangkat dari Senayan menuju kantor Menteri Sekretaris Negara untuk menyerahkannya. Draf final UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman.
DPR menyatakan tidak ada perubahan substansi dalam draft yang diserahkan kepada Mensesneg. Setelah diserahkan kepada Mensesneg, draft UU Cipta Kerja rencananya akan diberikan langsung ke Presiden Joko Widodo.