Kontak tembak pasukan Rusia dengan unit militer Ukraina.
Sumber :
  • rferl.org /viva

Warga Negara Rusia Berusia 18 Tahun ke Atas Terkena Wajib Militer, Imbas Mobilisasi Parsial

Kamis, 22 September 2022 - 21:42 WIB

Jakarta - Usai Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi parsial untuk kelangsungan "operasi khusus"-nya di Ukraina. Warga Rusia yang telah berusia 18 tahun terkena wajib militer. Akan tetapi lewat dekrit mobilisasi parsial, rakyat Rusia kini merasakan perang memang tengah terjadi.

Rusia berharap paling sedikit mendapatkan tambahan 300.000 tentara dari program mobilisasi parsial itu. Mobilisasi parsial berbeda dari mobilisasi umum yang bisa membuat Rusia menghimpun kekuatan sampai 25 juta tentara.
Mobilisasi membuat setiap warga negara berusia antara 18 sampai 60 tahun terkena wajib militer. Mereka makin khawatir karena dekrit itu disebut-sebut memuat klausul rahasia yang bisa menjadi pintu untuk memanggil siapa pun untuk pergi ke medan perang Ukraina.

Situasi ini membuat sebagian rakyat Rusia turun ke jalan memprotes dekrit mobilisasi itu.

Menurut kelompok hak asasi manusia Rusia, OVD-Info, lebih dari seribu orang di 30 kota termasuk Moskow dan St. Petersburg ditahan karena menentang mobilisasi parsial.

Rangkaian unjuk rasa pecah dan disebut-sebut terbesar setelah demonstrasi menentang perang usai Putin mengumumkan intervensi militer ke Ukraina pada 24 Februari.

Dekrit itu juga mendorong ribuan penduduk Rusia usia wajib militer keluar dari negerinya untuk menghindari dikirim ke medan perang Ukraina.

"Saya tak mau dijadikan umpan peluru," kata seorang pria warga kota Moskow berusia 30 tahun kepada laman The Moscow Times.

Pria ini tak menyebutkan namanya karena menghindari penangkapan, mengingat setiap sikap antiperang, apalagi demonstrasi antiperang, akan dijebloskan ke dalam penjara.

Perintah mobilisasi parsial itu mendorong ribuan orang bergegas membeli tiket pesawat demi segera meninggalkan Rusia.

Tujuan utama mereka adalah Armenia, Turki, dan Azerbaijan yang bertetangga dengan Rusia dan tak mewajibkan visa masuk.

Akibatnya harga tiket pesawat pun melonjak delapan kali lipat. Tiket ke Yereven, Ibu Kota Armenia, dihargai sampai 160 ribu rubel (Rp39 juta), sedangkan tiket ke Dubai dihargai 170 ribu rubel (Rp41 juta).

Padahal jarak Moskow ke Yerevan hampir sama dengan jarak Medan ke Semarang di Indonesia.

Ukraina menanggapi sinis langkah mobilisasi Rusia itu. Penasihat Keamanan Presiden Ukraina Mykhailo Podolyak menyebut langkah itu malah menguatkan anggapan bahwa Rusia telah salah mengkalkulasi perang Ukraina.

"Perang ini pasti tak berjalan sesuai dengan skenario Rusia dan untuk itu Putin mengambil keputusan yang sungguh tidak populer," kata Podolyak seperti dikutip Reuters.

Beberapa kalangan di dalam negeri Rusia sendiri melihat dekrit itu tidak realistis, terutama karena demografi Rusia yang rumit.

Pavel Luzin, pakar hubungan internasional berkebangsaan Rusia, mengungkapkan dampak mobilisasi akan seperti dihadapi ketika AS dalam Perang Vietnam 1955-1975.


Lebih brutal

Saat itu tentara-tentara hasil wajib militer yang kembali dari medan perang menjadi para aktivis antiperang yang paling keras di AS.

Mereka menjadi motor demonstrasi antiperang Vietnam di seluruh pelosok Amerika.

Menurut Pavel Luzin, situasi itu bisa terulang di Rusia, apalagi gejalanya sudah lama terjadi walau dalam skala kecil, mengingat pemerintah Rusia mengancam memenjarakan siapa pun yang menyampaikan pesan antiperang.

Namun demikian paguyuban ibu-ibu yang anaknya diterjunkan ke medan perang Ukraina mulai sering bertanya tentang nasib anak mereka.

Keadaan serupa pernah terjadi sewaktu perang Afganistan 3 dekade silam dan perang Chechnya yang pecah dua kali pada pertengahan serta akhir 1990-an.

Namun yang paling dikhawatirkan adalah berubahnya sikap kelas menengah yang menjadi mayoritas rakyat Rusia dan selama ini mendukung "operasi khusus".

Mereka dikhawatirkan sudah lelah oleh "operasi khusus" yang tak kunjung tuntas. Kini, dekrit mobilisasi parsial malah bisa membuat mereka terlibat langsung dalam perang.

Padahal, menurut sebuah survei yang digelar Rusia pada Agustus, kendati mayoritas warga Rusia mendukung perang di Ukraina, 62 persen penduduk tak siap dikirim ke medan tempur.

Kenyataannya ada upaya luas dari masyarakat Rusia untuk menghindari wajib militer.

Rezim Rusia sendiri disebut-sebut banyak mengandalkan pasukan dari daerah-daerah non Slavia, mulai wilayah Timur Jauh termasuk Republik Buryatia, sampai Trans Kaukasia termasuk Republik Dagestan.

Ada keyakinan yang tak terungkapkan selama ini bahwa Kremlin menghindari merekrut penduduk wilayah-wilayah makmur nan metropolitan seperti Moskow dan St Petersburg yang terkenal vokal terhadap rezim.

Kini mobilisasi parsial telah membuat penduduk di wilayah-wilayah ini tidak kebal dari keharusan terjun langsung di medan perang Ukraina.

Saat bersamaan, militer Ukraina menegaskan tak akan membedakan mana pasukan Rusia yang direkrut secara sukarela dan mana yang terpaksa berperang karena wajib militer.

Mereka akan disamaratakan oleh Ukraina sebagai agresor sehingga harus diperangi dengan sama sengit dan kerasnya.

Situasi ini bisa membuat kemungkinan semakin besarnya jatuh korban di pihak Rusia bakal mendorong gelombang protes antiperang di Rusia yang bisa makin besar seperti terjadi di AS saat Perang Vietnam dulu yang akhirnya memaksa AS mengakhiri petualangan militernya di Vietnam.

Namun bisa juga korban yang besar akan dieksploitasi oleh Putin sebagai alasan untuk melancarkan perang skala besar demi melindungi Rusia. (ant/mii)

Untuk itu, tahap perang Ukraina kali ini bisa disebut sebagai episode perang yang bisa lebih membahayakan siapa pun, tidak hanya Ukraina dan Rusia.

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
01:51
01:11
08:31
01:02
01:08
00:53
Viral