Ketua DPP PDIP Said Abdullah.
Sumber :
  • Banggar DPR RI

PDIP Sebut Praktik Money Politic Sudah Terjadi Sejak Lama

Senin, 21 November 2022 - 13:35 WIB

Jakarta - Ketua DPP PDIP Said Abdullah menanggapi soal anggapan Pemilu 2024 bisa memicu praktik politik jual beli.

Dia mengatakan praktik jual beli suara atau money politic sudah ada sejak lama.

Atas hal ini, Said menegaskan praktik politik jual beli itu bukan karena pemilu diselenggarakan secara serentak.

"Money politic bagaikan lingkaran setan. Jadi bukan soal penyelenggaraan pemilunya yang bersamaan," jelas Said saat dihubungi tvOnenews.com, Senin (21/11/2022).

Dia menjelaskan praktik jual beli suara itu bisa terjadi karena budaya politik yang belum tumbuh baik di kalangan pemilih, pihak yang ikut kontestasi serta penyelenggara pemilu.

"Salah analisis kalau melihat pemilu serentak ditengarai menimbulkan praktik jual beli suara," jelas dia.

Said mengatakan praktik politik jual beli, khususnya jual beli suara itu bisa dikurangi. Asalkan penegakan hukum pemilu bisa dijalankan dengan baik.

"Yakni, yang menyangkut pidana pemilu baik yang memberi maupun yang menerima," tuturnya.

Sebelumnya, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan Pemilu 2024 bisa memicu terjadinya politik jual beli.

Menurut dia, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang dilakukan serentak bisa menimbulkan efek ekor jas atau coat tail effect.

Selain itu, adanya anomali pada sistem pemilu di Indonesia.

"Mereka akan memilih partai politik yang juga mengusung atau mengusulkan calom presiden yang dia pilih," kata Titi di Amaris Hotel, Jakarta, Minggu (20/11/2022).

Dia menyatakan Indonesia perlu belajar dari sistem pemilu di Brasil yang juga menggunakan sistem pemilu serentak.

Ada 11 pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu di Brasil.

Dia lantas membandingkan dengan Indonesia yang hanya memunculkan sedikit pasangan calon.

Menurut Titi, alasannya karena Indonesia terhalang dengan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakilnya.

"Karena ada ambang batas pencalonan presiden yang angkanya berasal dari pemilu masa lampau menjadikan sistem presidensial rasa parlementer,” ujarnya.

Kata Titi, meskipun partai politik itu dinilai sangat kuat, tetapi jika persentase tidak mencapai ambang batas yang ditetapkan, maka bisa muncul praktik politik jual beli.

“Terlebih masih ada 11 bulan lagi masyarakat akan terus disajikan berita mengenai pertemuan antar elite politik dan selama itu pula kita tidak bisa mengakses apa isi pertemuan tersebut," tandas dia. (saa/nsi)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
01:45
06:24
02:32
03:00
05:18
00:58
Viral