Update Kasus Suap Djoko Tjandra, Terdakwa Penghapusan 'Red Notice' Serahkan Bukti Percakapan | tvOne

Selasa, 9 Februari 2021 - 13:58 WIB

Jakarta – Terdakwa mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang lanjutan kasus dugaan suap penghapusan ‘red notice’ Djoko Sugiarto Tjandra. Dalam persidangan, terdakwa memohon penangguhan penahanan dirinya namun ditolak oleh Ketua Majelis Hakim.

Sidang lanjutan kasus dugaan suap penghapusan ‘red notice’ terpidana korupsi hak tagih Bank Bali Djoko Sugiarto Tjandra dengan terdakwa mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen pol Napoleon Bonaparte digelar Pengadilan tindak pidana korupsi, Senin (8/2) sore.

Sidang yang dipimpin oleh ketua Majelis Hakim Muhamad Damis, dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Masruri dan Zulkifli, mengagendakan pemeriksaan terhadap terdakwa.

Di awal persidangan, JPU langsung mencecar dan mengkonfirmasi terkait teknis penerbitan surat Daftar Pencarian Orang (DPO). Selain itu JPU juga meminta terdakwa menjelaskan perbedaan antara ‘red notice’ dengan DPO yang coba dipaparkan terdakwa.

Selanjutnya, giliran tim penasehat hukum terdakwa mengkonfirmasi sejumlah pertanyaan kepada terdakwa. Terdakwa Napoleon mengaku memiliki rekaman percakapan dirinya dengan Tommy Sumardi dan Brigjen pol Prasetijo Utomo di dalam sel Mabes Polri.

Namun saat terdakwa meminta memperdengarkan isi rekaman percakapan tersebut pihak JPU menolak.

Penasehat hukum Napoleon kemudian menyampaikan dan menyeerahkan langsung kepada Ketua Majelis Hakim rekaman tersebut, serta turut disaksikan oleh JPU.

Dalam sidang kali ini terdakwa juga memohon kepada Majelis Hakim untuk menangguhkan penahanan dirinya, namun permintaan tersebut di tolak oleh hakim.

Sementara usai persidangan, penasehat hukum terdakwa Santrawan Parang mengatakan isi rekaman yang diberikan kepada hakim merupakan percakapan antara kliennya dengan Tommy Sumardi dan Brigjen pol Prasetijo Utomo yang terjadi pada 14 oktober 2020.

"Bukti yang diserahkan menyangkut mengenai rekaman 14 oktober 2020, terkait pembicaraan antara Tomi Sumardi, pak Napoleon dan pak Prasetyo, saya tadi kalau mau dibuka di persidangan enakan di minta, tapi Majelis minta untuk dipertimbangkan nanti didalam pertimbangan mereka, ya pada prinsipnya kita akan ajukan pledoi, kita tunggu dulu nanti dari JPU seperti apa,” kata Santrawan.

Kendati demikian, pengacara Napoleon enggan menjelaskan secara detail isi percakapan ketiga orang tersebut.

Vonis 10 Tahun untuk Pinangki

Sementara itu, Jaksa Pinangki Sirna Malasari divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap, melakukan pencucian uang sekaligus melakukan pemufakatan jahat terkait perkara Djoko Tjandra.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp600 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (8/2).

Majelis Hakim menyatakan terdakwa Pinangki Sirna Malasari terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu subsider dan pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua dan permufakaatan jahat untuk melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan ketiga subsider.

Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung yang meminta agar Pinangki divonis selama 4 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

"Tuntutan yang diajukan penuntut umum terlalu rendah sedangkan putusan dalam diri terdakwa ini dianggap adil dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat," ungkap hakim Eko.

Terdapat sejumlah hal memberatkan dalam perbuatan Pinangki. "Hal yang memberatkan, terdakwa adalah seorang aparat penegak hukum dengan jabatan sebagai jaksa; perbuatan terdakwa membantu Djoko Tjandra menghindari putusan Peninjauan Kembali tertanggal 11 Juni 2009 adalah dalam perkara 'cessie' Bank Bali sebesar Rp904 miliar yang saat itu belum dijalani," tambah hakim Eko.

Hal lain yang memberatkan adalah Pinangki dinilai tidak mendukung pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. "Terdakwa berbelit-belit, menyangkal dan menutup-nutupi keterlibatan pihak lain dalam pekara a quo, tidak tidak mengakui perbuatannya dan sudah menikmati hasil pidana yang dilakukannya," ungkap hakim Eko. (ito)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
00:49
01:46
04:06
01:58
01:04
09:13
Viral