UU ITE Bisa Selesai Bila Pelaku Minta Maaf, Kompolnas: Saya Melihat Ini Arahan Presiden | AKIP tvOne

Rabu, 24 Februari 2021 - 10:26 WIB

Jakarta –  Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengingatkan jajarannya untuk mengedepankan rasa keadilan dalam menggunakan payung hukum Undang-undang nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Listyo bahkan mengatakan penyidik tak perlu melakukan penahanan apabila tersangka dalam suatu kasus telah meminta maaf.

Menurut Poengky Indarti, Komisaris Kompolnas, Langkah tersebut dinilai tepat ditengah pasal karet yang terdapat dalam UU ITE.

"Menurut saya lebih koperehensif  kaitanya dengan ruang cyber. nah jadi klo menurut saya surat edaran ini lebih memberikan kekuatan kepada penyidik polri dalam kasus yang terkait dengan UU ITE." Jelasnya.

Poengky menambahkan, jika langkah polri tersebut merupakan pelaksanaan arahan Presiden yang menyatakan jika perlu dilakukanya revisi terhadap UU ITE.

"Surat edaran ini merupakan pelaksanaan dari arahan presiden pada waktu rapim TNI-Polri. saat itu Presiden memberikan arahan terkait UU ITE agar polri diminta selektif dalam melakukan penyidikan, karena memang ada banyak laporan terkait dengan UU ITE, banyak keluhan-keluhan, banyak komplain-komplain ini kok orang mengkritik kok tidak boleh."

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo menangkap kegusaran publik atas sejumlah pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dinilai tidak memberikan rasa keadilan.

Kepala Negara dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri 2021 menyampaikan akan meminta DPR bersama-sama pemerintah merevisi Undang-Undang ITE apabila undang-undang tersebut tidak memberikan keadilan bagi masyarakat.

Presiden mengingatkan bahwa semangat UU ITE adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar lebih bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Namun, dia tidak ingin implementasi UU tersebut justru menimbulkan rasa ketidakadilan.

​​​​​​Belakangan, kata Kepala Negara, UU ITE banyak digunakan oleh masyarakat sebagai rujukan hukum untuk membuat laporan ke pihak kepolisian. Namun dalam penerapannya, kerap timbul proses hukum yang dianggap beberapa pihak kurang memenuhi rasa keadilan.

Presiden meminta Kapolri beserta jajaran-nya lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE serta berhati-hati dalam menerjemahkan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir.

Jika perlu, menurut Presiden, dibuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE yang berpotensi multitafsir. Pernyataan Presiden ini seakan membawa wacana revisi atas UU ITE naik kelas ke tahap selanjutnya.

Sebab pada 2016 silam, UU ITE yang disahkan pertama kali tahun 2008 itu sudah pernah direvisi, namun pasal-pasal yang dianggap berpotensi multitafsir atau pasal karet masih saja eksis.

Pada saat itu, Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Kerja (2014—2019) Rudiantara didorong untuk mengubah ketentuan ancaman pidana dalam UU ITE dari 6 tahun menjadi di bawah 5 tahun.

Revisi undang-undang tersebut terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana di atas 5 tahun.

Belakangan ini UU ITE kian mendapat sorotan masyarakat karena adanya saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat menggunakan undang-undang ini, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28.

Beberapa parpol mendesak agar pasal karet dalam UU ITE dihapus. Bahkan, Presiden Jokowi sudah bersuara agar DPR segera merevisi pasal karet tersebut.

Pasal karet artinya pasal yang tidak memiliki tolok ukur yang jelas alias multitafsir. Pasal karet ini dalam implementasi-nya jelas menimbulkan ketidakadilan, lantaran dapat ditafsirkan sepihak. (mii)

Lihat Juga: Soal Revisi UU ITE, Babe Haikal: Ini Langkah Baik Jokowi, Namun Ada Catatan | AKI Pagi tvOne

 

 

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
01:16
09:06
09:00
01:35
02:53
03:01
Viral