Tuntut Perbaikan Polri, Psikolog Forensik: Tidak Cukup Berbicara Tentang Oknum Saja

Rabu, 27 Oktober 2021 - 09:34 WIB

Jakarta - Akhir-akhir ini santer terdengar aksi tak terpuji dari anggota Polri, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan seksual, bahkan kekerasan terhadap sesama anggota kepolisian sendiri.
Indonesia Police Watch (IPW) mengaku terkejut dengan rentetan kejadian-kejadian tersebut. Ia pun setuju dan mendukung pernyataan bahwa perlu ada pembenahan dan reformasi di tubuh Polri.
"Tampak dimana-mana kekerasan ditampilkan oleh anggota Polri, padahal anggota Polri adalah polisi sipil. Sudah berbeda dengan ketika sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Dulu polisi berada di bawah ABRI. Mungkin main pukul, main tendang, itu paradigmanya masih menggunakan cara-cara kekerasan fisik," ujar Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso.
Ia menjelaskan, setelah berlakunya Undang-Undang no 2 tahun 2002, ada prinsip-prinsip masyarakat sipil di tubuh Polri seperti penghormatan terhadap hak asasi manusia, ketaatan pada peraturan perundang-undangan, pembagian tugas dan wewenang, dan segenap peraturan lain yang dibuat untuk mengarahkan polisi Indonesia polisi sipil.
Melengkapi pernyataan tersebut, Reza Indragiri Amriel menyatakan bahwa jika dilihat sebagai fenomena, menurut penelitian ada tiga subkultur menyimpang yang marak di organisasi kepolisian di seluruh dunia.
"Dua diantaranya relevan dengan topik perbincangan kita. Yang pertama adalah perilaku brutal dan yang kedua adalah kecenderungan sesama personil polisi untuk menutup-nutupi kesalahan yang dilakukan kolega mereka. Istilahnya adalah blue curtain code atau kode tirai biru," ungkap psikolog forensik ini.
Menyitir sebuah studi, personil polisi ketika ditanya belajar dari mana perilaku misconduct atau perilaku yang tidak profesional, mereka menjawab "persis dari atasan saya di atas". Temuan dari survei tersebut cukup mengkhawatirkan karena mengindikasikan adanya budaya regenerasi kekerasan, perilaku korup, serta menutup-nutupi kesalahan kolega.
"Tapi pada sisi lain ada survei yang menemukan kabar baik. Bahwa kalau personil polisi harus melakukan perubahan perilaku, siapa yang paling bisa mempengaruhi anda? Jawabannya ternyata sama. Yang paling bisa mempengaruhi perilaku saya dari tidak baik menjadi baik, dari tidak profesional menjadi profesional, dari awalnya brutal menjadi civil alias santun, tak lain adalah atasan saya di atas," papar Reza.
Dengan kata lain sistem hierarkial yang ada di tubuh kepolisian, termasuk Polri, membuat atasan memiliki posisi yang sangat strategis jika ingin melakukan reformasi atau perbaikan. Reza juga mengatakan, jika polisi ingin memberikan penghargaan terhadap hak asasi manusia, penghormatan terhadap demokratisasi dan kebebasan sipil, maka para atasan langsung bisa dan harus memberikan contoh serta membangun sistem secara lebih mendasar.
Lalu ketika diminta memberikan resep bagaimana Polri dapat membenahi diri, Reza menjelaskan perbaikan institusi kepolisian tidak boleh hanya berbicara oknum, melainkan harus memahami bahwa hal ini merupakan gejala sistemik yang juga terjadi di lembaga kepolisian lain di seluruh dunia. Namun ada tiga hal penting yang masih dapat dibenahi untuk menciptakan lingkungan polisi yang lebih profesional dan etis.
"Tidak cukup perbincangan ini tentang individu dan individu saja, tapi secara terpadu, komprehensif. SDMnya (biro psikologi kepolisian), lalu yang kedua Lemdiknya (Lembaga Pendidikan dan Pelatihan), dan ketiga adalah Humasnya," tegasnya. (afr)
Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
02:36
08:00
01:49
09:04
01:41
02:02
Viral