Bagi saya, dan kelima sahabat pada saat itu, untuk dan demi Merah-Putih, tidak ada yang keliru melibatkan pemain keturunan. Selain itu, naturalisasi hanya jalan pintas atau untuk dijadikan motivator bagi para pemain lokal.
Jujur, kita sesungguhnya tidak kekurangan bakat. Tapi, mengapa sejak 1930 hingga saat ini, belum sekalipun kita bisa tampil di Piala Dunia dan Olimpiade? Catatan: Ramang, Liong Ho, dan kawan-kawan petnah tampil di Olimpiade Merlbourne 1956. Namun saat itu tuan rumah masih boleh menentukan siapa saja peserta, atau belum ada babak kualifikasi. Kita juga pernah tampil di Piala Dunia Junior, 1979, di Tokyo, menggantikan Irak dan Korut, mundur karena masalah politik.
Padahal, sudah triliunan rupiah, bersyukurnya itu bukan uang pemerintah. Orang-orang yang 'gila' bolalah yang mengucurkan dananya.
Sebut saja D. Murthala (Aceh), TD. Pardede (Medan), Benny Mulyono (Warna Agung), Benniardi (Tunas Inti), Sigit Harjojudanto, Ismet Taher (Arseto), Nirwan D. Bakrie (Pelita Jaya), Sjarnoebi Said (KTB), Alex Wenas (Niac Mitra), dan banyak lainnya. Mereka tidak pernah hidup dari sepakbola, tapi mereka menghidupi sepakbola. Mereka tak ragu menggelontorkan uang untuk sepakbola. Mereka tidak pernah berpikir untuk mengambil kembali triliunan uang yang sudah mereka gelontorkan demi dan untuk merah-putih.
Namun, impian adanya timnas kita berlaga di putaran final Piala Dunia serta Olimpiade, terus pula menguap ditiup angin.
Mengapa? Banyak hal yang menjadi kendala. Salah satunya, maaf, anak-anak kita hampir selalu nervous atau minder jika harus bertemu dengan pemain-pemain asing. Dalam kondisi seperti itu, sehebat apa pun skill kita, akan lenyap.
Menyadari hal itu, maka Nirwan atau akrab disapa NDB, membentuk tim Primavera yang berlatih dan ikut kompetisi kelompok umur di Italia. Sebelumnya Sigit membentuk PSSI Garuda. Seperti kita ketahui, hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Load more