Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa risiko perekonomian dunia telah bergeser dari sebelumnya pandemi Covid-19, saat ini risiko berasal dari tekanan ekonomi global, seperti risiko stagflasi, ketidakpastian pasar keuangan global, tekanan inflasi, dan situasi geopolitik. Hal ini tentu saja menjadi perhatian negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia.
Menkeu mengatakan kondisi geopolitik semakin eskalatif dengan terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina, juga ketegangan yang melonjak tinggi di Taiwan. Hal tersebut akan menimbulkan tambahan risiko pada disrupsi sisi supply. “Dengan adanya disrupsi sisi supply akibat pandemi dan dengan sekarang masalah perang atau geopolitik, sementara demand side-nya meningkat, terjadilah inflasi global yang melonjak sangat tinggi,” ujar Menkeu.
Dengan inflasi yang bergejolak atau melonjak sangat tinggi, maka kemudian dilakukan respons kebijakan moneter melalui pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga. “Tindakan ini menimbulkan efek spillover atau rambatan ke berbagai negara. Volatilitas pasar keuangan melonjak, capital outflow terjadi di negara berkembang dan negara-negara emerging. Ini menekan nilai tukar rupiah dan juga meningkatkan cost of fund atau lonjakan biaya utang,” kata Menkeu.
Di sisi lain, Menkeu mengatakan negara-negara yang memiliki rasio utang sangat tinggi di atas 60 persen atau mendekati 100 persen pasti akan mengalami tekanan yang jauh lebih hebat melalui kenaikan nilai tukar dan lonjakan biaya bunga atau cost of fund. "IMF menyampaikan bahwa di seluruh dunia ini ada 60 negara lebih yang berpotensi menghadapi krisis utang atau default dan ini disebabkan karena biaya utang maupun revolving atau refinancing risk yang melonjak tinggi,” ujar Menkeu. Oleh karena itu, Menkeu mengingatkan untuk terus mewaspadai spillover dari kenaikan suku bunga yang akan berpotensi menimbulkan gejolak di sektor keuangan. (rul/prs)
Load more