Kulon Progo, DI Yogyakarta - Hidup yang menyentuh hati dialami keluarga Sutinah (55) dan putranya, Arifin (20), warga Pedukuhan Jati, Kelurahan Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa, Yogyakarta. Arifin yang harusnya sudah bisa membahagiakan orang tuanya kini hanya terbaring lemah di tempat tidur lantaran mengalami kelumpuhan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Sutinah hanya berjualan gula merah dan bertani.
Kehidupan keluarga ini jauh dari kata layak. Mereka tinggal di sebuah rumah gubuk yang kondisinya cukup memperihatinkan. Rumah beralaskan tanah dan berdindinganyaman bambu yang sudah lapuk itu, berada di pelosok desa di perbukitan Menoreh.
Sutinah yang sudah tua, selalu menyiapkan sarapan untuk anaknya sebelum berangkat berjualan. Sementara Arifin hanya bisa terbaring. Dia tidak bisa bangun sendiri dari tempat tidurnya selama 10 tahun terakhir ini.
Kelumpuhan yang diderita Arifin bukan tanpa sebab. Kejadian yang memupuskan cita-citanya, berawal saat ia mengikuti program suntik polio yang dilakukan waktu sekolah dasar. Bukannya menangkal polio, malah membuat Arifin lumpuh.
"Awalnya saya bisa berjalan layaknya anak anak pada umumnya. Namun setelah disuntik polio waktu kelas 4 SD, tubuh saya jadi lemas. Lama-lama enggak bisa gerak," ucap Arifin.
Kehidupan yang serba pas-pasan itu membuat Arifin sulit mendapat pengobatan yang layak. Sutinah mengatakan pada awal-awal kelumpuhan Arifin, ada bantuan pengobatan yang diberikan pemerintah. Akan tetapi hasilnya masih nihil. Arifin tetap lumpuh hingga akhirnya keluarga memutuskan untuk pasrah dengan keadaan.
"Saya sebenarnya sudah mencoba mengobati Arifin, pernah terapi selama 3 bulan tapi tak ada hasil. Selain itu juga sudah dirujuk ke rumah sakit. Hasilnya sama, anak saya tetap lumpuh. Untuk berobat itu butuh biaya yang besar, Mas, kami sudah tidak mampu," ucap Sutinah.
Setelah dinyatakan lumpuh, kehidupan Arifin benar-benar berubah. Seluruh aktivitas dasar mulai dari makan, mandi, hingga buang air harus dibantu oleh keluarganya. Ini karena hampir sebagian besar waktu Arifin hanya bisa dilakukan di atas ranjang.
Kelumpuhan itu juga menjadi penghambat bagi Arifin untuk melanjutkan pendidikan. Pasca-lumpuh, mobilitas Arifin ke sekolah harus dibantu keluarga. Saban pagi hari, Sutinah menggendong Arifin ke sekolah yang saat itu jaraknya masih dekat dengan rumahnya.
Aktivitas itu hanya berlangsung sampai Arifin lulus SMP. Setelah lulus SMP, Arifin terpaksa tidak melanjutkan ke jenjang SMA sederajat. Hal ini karena Sutinah sudah tidak kuat lagi menggendong anaknya tersebut.
"Sebenarnya saya mau Arifin bisa lanjut sekolah, tapi saya sudah enggak kuat, Mas, selain dari biaya yang mahal jarak ke sekolah (SMA sederajat) itu jauh, akhirnya memutuskan tidak usah lanjut," ucap Sutinah.
Arifin merupakan anak bungsu dari dua bersaudara pasangan Sutinah dan Bambang Wakidi. Sang ayah, Bambang, sudah meninggal sejak Arifin masih anak-anak. Walhasil, status kepala keluarga kini diampu Sutinah.
Dukuh Jati Susi Windarti membenarkan kondisi salah satu warganya yang lumpuh dan hidup dalam belenggu kemiskinan. Pihak dusun, kata Susi, juga sudah berupaya memberikan bantuan.
"Iya memang benar, Mas Arifin itu sudah lama lumpuh dan yang menghidupinya itu ibunya (Sutinah). Terkait bantuan sudah kami upayakan, termasuk ada bantuan juga dari masyarakat untuk merenovasi rumah," ucapnya.
Keluarga Arifin hanyalah sebagian kecil dari potret kemiskinan di wilayah Kulon Progo. Kulon Progo merupakan kabupaten termiskin di Daerah Istimewa Yogyakarta. (Ari Wibowo/act)
Load more