tvOnenews.com - Siapa yang tidak megenal sosok preman legendaris bernama John Kei. Ia dikenal sebagai mantan preman legendaris yang dijuluki 'Godfather’ Jakarta.
Bergelut di dunia premanisme, ia kerap berurusan dengan hukum, seperti terlibat kasus pembunuhan. Bahkan John Kei pernah mendekam di penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Perlahan sosoknya berubah menjadi lebih baik usai mendekam di Nusakambangan. Dalam wawancara bersama Andy F Noya pada acara Kick Andy, John Kei memberikan kesaksian tentang perjalanan hidupnya.
Pria asal pulau Kei, Ambon, Maluku Tenggara itu mengatakan kepada Andy F Noya bahwa masa kecilnya dilalui dengan kemiskinan.
"Saya lahir dari keluarga yang merupakan petani, bapak saya petani, ibu saya petani, miskin,” kata John Kei dikutip dari tayangan Kick Andy Metro TV.
“Masa kecil saya setiap pulang sekolah, senior-senior kita adu kita untuk berantem, kalau berantem, kalau satu kalah, udah jadi dua lawan satu, jadi dari kecil saya sebenarnya sudah hobi berantem," sambungnya.
John Kei menyebut dirinya hanya lulusan SMEA atau setara dengan SMA pada saat ini. Namun ia tidak lulus sekolah lantaran kerap mencari masalah di sekolah.
"Saya di SMEA, seharusnya di STM, dan sebetulnya ini bertentangan dengan keinginan saya, tapi karena orang tua miskin, maka saya sekolah di SMEA,” ujar John.
“Dari situ saya merasa sangat tidak sesuai, makannya saya jadi malah suka berantem-berantem di sekolah. Akhirnya sekolahnya putus di SMEA waktu mau naik ke kelas dua," imbuhnya.
Meski begitu, John Kei mengaku mendapat ijazah setelah mengikuti ujian susulan seperti paket C.
"Saya ke Jakarta, akhirnya di sana saya dapat ijazah persamaan (selevel SMA)," ungkapnya.
Pertama kali merantau, John Kei menuju ke Surabaya, Jawa Timur. Ia memberanikan diri di usianya yang baru 18 tahun.
"Saya punya tekad, karena hidup di kampung itu miskin, kalau miskin, kan, dilihat orang hina. Di situ saya punya tekad, saya harus keluar dari kampung, saya harus berhasil dan nanti balik ke kampung," ucapnya.
Hanya bermodal nekat, John Kei memberanikan diri naik kapal ke Surabaya. Pasalnya, pada saat itu ia tidak punya uang sepeserpun.
"Saya sama sekali tidak punya uang, akhirnya saya loncat masuk ke kapal tujuan Surabaya,” kenang John Kei.
“Kemudian saat ditagih tiket, saya jelaskan pada petugasnya, bahwa saya tidak punya uang, tidak punya tiket. Dan akhirnya saya diminta untuk bekerja membersihkan kapal," sambungnya.
Sesampainya di Surabaya, John Kei sempat menumpang tinggal selama tiga bulan di rumah saudaranya. Namun lantaran tidak merasa cocok, ia memilih hidup di jalanan.
John Kei kemudian mencoba beradu nasib di Jakarta usai tinggal di Surabaya. Pada 1992, John Kei menjadi seorang security di sebuah tempat hiburan malam.
Pada saat itu ia sempat terlibat perkelahian dengan sekelompok orang. Niat hati ingin melerai, namun John Kei justru kena imbas. Akibatnya ia merasa dendam dengan kelompok tersebut.
"Saya jadi security di sana, tempatnya banyak bule-bule, waktu itu ada yang ribut (berantem), saya pisahin, terus saya dipukul dari belakang. Akhirnya sempat berantem, polisi datang menyelesaikan, saya kemudian pulang ke rumah,” ujarnya.
“Masih penasaran, balik lagi ambil golok, niat saya tadinya, saya enggak mau bunuh dia, cuma mau kasih besutan, ternyata diluar dugaan, parang pas kena leher, dan dia mati," sambungnya.
"Yang lain-lain saya kejar, balik lagi, potong lagi kakinya, mereka ada banyak, sekitar 5 sampai 6 orang," katanya.
Setelah kasus pembunuhan tersebut, John Kei menjadi buronan polisi, tapi tak lama kemudian, ia menyerahkan diri.
Ia mengaku masih sering terlibat perkelahian dengan sesama narapidana di lapas. Namun saat ia berada di Nusa Kambangan, membuatnya lebih dekat dengan Tuhan.
“Saya dulu tidak pernah ada waktu untuk ibadah. Tapi Nusakambangan membawa Tuhan hadir di diri saya,” ungkap John Kei.
Ia mengaku menyesal dengan perbuatannya dan ingin menghapus masa lalunya tersebut. Ia berharap dengan mendekatkan diri pada Tuhan mampu bertahan di masa hukumannya.
“Kalau saya mati, saya mau masuk surga. Bukan masuk neraka karena bunuh diri,” katanya.
Pada saat di lapas, ia mengaku mengalami banyak perubahan. Bahkan ia sempat menjadi pengkhotbah dan memberikan pencerahan bagi narapidana lainnya.
“Saya ingin menjadi manusia baru ketika saya keluar dari penjara. Saya menyerahkan hidup saya pada Tuhan,” pungkasnya. (adk)
Load more