Jakarta, tvOnenews.com - Surah Al-Fatihah disebut istimewa karena merupakan surah pertama dalam Al-Qur'an. Sementara jika dilihat secara bahasa, kata al-fātihah (الفَاتِحَة) bermakna pembuka.
Dalam ayat kedua Al-Fatihah, ada kata Rab yang disebut. Lantas bagaimanakah tafsir Rabb dari surah pembuka dalam Al-Qur’an ini?
Tafsir kata Rabb dalam surah Al-Fatihah ayat kedua tersebut mengandung dua hal yakni yang pertama mengenai alam dan kehidupan didesain dengan sempurna, sementara yang kedua tentang bahan dan proses penciptaan alam semesta.
Ilustrasi (pixabay)
Alam dan Kehidupan Didesain dengan Sempurna
Pada ayat kedua Surah Al-Fatihah, Allah SWT berfirman (الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ) yang artinya, “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”. Kata Rabb merupakan variabel penting untuk memahami ayat tersebut secara utuh. Rabb berarti pencipta, pemelihara pengatur, dan arti lainnya yang sejenis.
Kata Rabb disandarkan pada kata (الْعَالَمِيْنَ) menunjukkan makna bahwa Allah menciptakan, memelihara, dan mengatur alam semesta tanpa terkecuali, baik alam ghaib maupun zahir, alam manusia maupun alam jin, alam di muka bumi, maupun di dalam, atau di luar bumi. Semua alam ini diciptakan, dipelihara, dan diatur oleh Allah SWT.
Allah menegaskan dalam Surah Al-Ikhlas bahwa Allah adalah tempat bergantung seluruh makhluk-Nya. Bentuk ketergantungan seluruh makhluk kepada Allah SWT diuraikan dalam ayat-ayat lain.
QS. Al-Zumar [39]: 62 menerangkan bahwa Allah adalah pencipta dan pemelihara ciptaan. Ini merupakan bentuk ketergantungan makhluk kepada khaliknya.
Sedangkan pemeliharaan Allah terhadap makhluk-Nya diuraikan dalam QS. Hud [11]: 6 yang menerangkan bahwa Allah telah menetapkan rezeki untuk setiap makhluk-Nya. Bahkan, ketika makhluk tersebut tidak mampu mengurus rezeki yang telah Allah tetapkan, Allah menegaskan bahwa Dia yang akan mengurusnya.
Ilustrasi (unsplash)
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Ankabut [29]: 60. Dalam QS. Al-Dukhan [44]: 38, Allah juga menyatakan bahwa Dia menciptakan makhluk-Nya dan bertanggung jawab terhadap kehidupan makhluk tersebut.
Rabb yang berarti mencipta juga memiliki makna bahwa Allah juga berkuasa untuk tidak menciptakan sesuatu. Namun, walaupun Allah tidak menciptakan sesuatu, Dia tetaplah Zat Yang Maha Agung.
Artinya, Allah memiliki kekuasaan yang mutlak untuk mendesain, merancang, menciptakan, memelihara, mengatur dan pada akhirnya mengembalikan semua makhluk kepada-Nya.
Tujuan dari desain penciptaan ini adalah untuk menunjukkan kemahakuasaan Allah atas segala ciptaan yang ada sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Ahqaf [46]: 33, QS. Al-Ankabut [29]: 44, dan QS. Al-Jatsiyah [45]: 22.
Seluruh makhluk yang diciptakan oleh Allah merupakan wujud kemahakuasaan Allah dan sekaligus sebagai saksi atas kekuasaan-Nya. Maka wajar jikalau kemudian Allah menugaskan manusia yang telah diciptakannya di dunia untuk hanya mengabdi kepada Allah SWT.
Hamparan ciptaan Allah di alam semesta seharusnya memberikan kesadaran pada manusia atas kemahakuasaan Allah dan mengantarkan mereka pada pengetahuan tentang Allah secara benar. Pada akhirnya, manusia yang telah memahami Allah secara benar akan terarahkan pada keislaman. Karena pengetahuan tentang Rabb secara benar itu hanya bisa didapatkan dalam risalah Islam.
Ilustrasi Bulan yang Jadi Bagian Alam Semesta (ant)
Bahan dan Proses Penciptaan Alam Semesta
Setelah membahas tentang desain rancangan dan konsep penciptaan Allah terhadap alam semesta, pembahasan selanjutnya adalah bagaimana Allah memproses penciptaan alam semesta yang di dalamnya juga terdapat manusia.
Dalam sejarah penciptaan makhluk hidup, manusia adalah jenis makhluk hidup yang diciptakan paling akhir. Hal ini tergambar dari ungkapan Allah dalam QS. Al-Hijr [15]: 27 yang menyatakan bahwa, “Aku menciptakan jin sebelum Adam dari api yang sangat panas”.
Pernyataan ini menegaskan bahwa manusia tercipta setelah makhluk lain diciptakan. Dari perspektif biologi, manusia merupakan jenis baru dari spesies primata yang disebut homo.
Genus homo merupakan genus terakhir dari spesies primata yang pertautan antara satu genus dengan genus lainnya. Setelah itu, manusia ditunjuk oleh Allah untuk menjadi khalifah di bumi, memimpin makhluk lainnya untuk menempatkan rahmat bagi alam semesta sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30.
Lalu, bagaimana proses penciptaan alam semesta itu dilakukan oleh Allah sampai munculnya manusia? Alam semesta diciptakan dalam suatu ruang yang sangat luas. Carl Sagan menyebut ruang tersebut dengan istilah cosmic ocean. Ruang tersebut diciptakan oleh Allah dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada.
Ilustrasi (Ist)
Allah menjelaskan dalam QS. Al-Nuh [71]: 15-16, “Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat dan Allah menciptakan di langit tersebut bulan sebagai cahaya dan matahari sebagai pelita?” Apa yang dimaksud dengan langit? Apakah galaksi atau lapisan atmosfer ada 7 jagat raya dan lain sebagainya?
Untuk itulah, makna kata 7 bisa diartikan sebagai langit yang sangat luas sekali yang lazim kita sebut dengan cosmic atau jagat raya (sebuah ruang) yang di dalamnya Allah menciptakan berbagai benda langit seperti bintang, planet, meteor asteroid dan benda-benda lainnya.
Setelah Allah menyediakan ruang bagi terbentuknya benda-benda langit, Allah kemudian memulai menciptakan benda-benda langit melalui gumpalan gas yang berupa kabut (QS. Fushilat [41]: 11) yang pekat dan menyatu (QS. Al Anbiya' [21]: 30).
Para ahli fisika menemukan bahwa gas tersebut adalah helium litium dan hidrogen. Namun, mereka belum menemukan bagaimana gas tersebut bisa memperoleh massa sehingga dapat menyatu dan bergerak. Baru pada tahun 2012, Peter Higgs dan Francois Englert menemukan sebuah medan besar yang berinteraksi dengan partikel-partikel dasar atom yang membuat inti atom tersebut memperoleh massa.
Semakin kuat partikel tersebut berinteraksi, maka semakin besar pula memperoleh massanya. Itulah yang disebut dengan Higgs Boson atau God Particle dalam istilah Leon Lederman.
Ilustrasi Ciptaan Allah (istock)
Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam QS. Al-Anbiya’ [21]: 30 bahwa proses pemberian masa dalam partikel itu telah memungkinkan partikel-partikel gas itu bergerak dan lambat laun, memisah dengan istilah fafataqnāhumā.
Gumpalan massa gas yang sangat padat dan bersuhu tinggi akibat perputaran yang disebut ratqan (رتقا) mengakibatkan ledakan besar yang memisahkan antara partikel panas. Hal ini —dalam astronomi— disebut dengan istilah Supernova.
Allah mengilustrasi ledakan tersebut seperti bunga mawar yang mengkilap merekah dalam QS Al-Rahman [55]: 37. Proses ini juga menjelaskan dua tahapan penciptaan, tahap sebelum Supernova dan tahap setelahnya. Penciptaan alam semesta melalui dua tahap ini disebutkan dalam QS. Fussilat [41]: 12.
Allah juga menjelaskan bahwa alam semesta diciptakan dalam enam tahap sebagaimana disebutkan dalam QS. Hud [11]: 7. Dua tahap penciptaan telah disebutkan di atas. Empat tahap selanjutnya adalah penciptaan Allah terhadap kehidupan di bumi. Bumi sebagai makhluk hidup, berada, tumbuh, dan berkembang dalam empat tahap sebagaimana disebutkan dalam QS. Fussilat [41]: 10.
Kata ayyām dalam ayat tersebut dimaknai sebagai “tahap”, bukan masa atau bahkan hari. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa ketika Allah menciptakan alam semesta belum terbentuk sistem waktu sebagaimana kita kenal atau ketahui sekarang ini. Sistem waktu yang diketahui manusia baru ada ketika sistem peredaran benda-benda langit berfungsi (QS. Yunus [10]: 5).
Oleh karena itu, kata ayyām diartikan sebagai tahap, yakni sebuah istilah yang menggambarkan urutan-urutan sebuah peristiwa tanpa mempertimbangkan kapan dan berapa lama terjadinya. Namun demikian, Allah berikan penjelasan bahwa proses penciptaan langit dan bumi serta apapun yang berada diantara keduanya telah ditetapkan aturan-aturan dan hukum-hukum yang melekat pada seluruh ciptaan-Nya (QS. Al Thalaq [65]: 12).
Bumi yang diciptakan oleh Allah dengan segala isinya dilapisi dengan biosfer, yaitu sebuah lapisan tempat terjadinya awal kehidupan. Lapisan ini berada pada permukaan bumi paling bawah yang berisi sesuatu yang hidup dan terdiri dari bakteri, fungi, dan tumbuhan rendah.
Ketika bumi tercipta, pada saat yang sama, kehidupan biosfer diciptakan juga. Allah kemudian menciptakan kehidupan rendah itu menjadi kehidupan yang kompleks sebagai modal manusia untuk hidup kelak (QS. Al Hijr [15]: 20).
Ilustrasi (istock)
Setelah kehidupan paling awal di bumi diciptakan, maka diciptakan pula kehidupan-kehidupan lain seperti hewan dan tumbuhan, baik di laut dan di darat tahap demi tahap, sebagaimana telah disebutkan di atas dengan melalui empat tahap.
Selain itu, Allah juga merancang bahwa semua makhluk diciptakan dalam wujud berpasangan, termasuk manusia (QS. Yasin [36]: 36). Ini memberi pengertian bahwa meskipun Allah menciptakan hewan dan tumbuhan yang sangat kompleks, makhluk-makhluk lain yang sangat rendah (bakteri, fungi, dll) tidak dimatikan. Hal inilah yang membedakan konsep Alquran dengan teori evolusi.
Teori evolusi selalu berprinsip survival for the fittest (yang bertahan adalah yang paling kuat) dan struggle for life (berjuang untuk hidup). Makhluk yang tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan akan mati, dan yang dapat beradaptasi akan terus hidup dengan bentuk lain yang lebih baik dan kompleks. Demikianlah cara pandang teori evolusi yang tidak sesuai dengan Islam.
Terakhir, setelah proses penciptaan seluruh kelengkapan hidup di bumi selesai, Allah menciptakan manusia. Manusia di amanahi tugas untuk menjadi khalifah (pemimpin) di bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Sebagai khalifah, manusia dibekali berbagai macam hal yang telah diciptakan Allah di bumi, seperti tanam-tanaman, hewan-hewan, sungai, laut, dan lain sebagainya. Semuanya ditundukkan Allah untuk kehidupan manusia di bumi (QS. Ibrahim[14]: 32, QS. Al Baqarah [2]: 29).
Oleh: Tafsir at-Tanwir MTT PP Muhammadiyah
Load more