Dua Dosen Unsri Tersandung Pelecehan Seksual

Rabu, 22 Desember 2021 - 16:12 WIB

Palembang, Sumatera Selatan - Pelecehan seksual di lembaga pendidikan diakui bukanlah perkara baru. Di Sumatera Selatan dua oknum dosen dari sebuah perguruan tinggi negeri yang sama bahkan menjadi tersangka kasus pelecehan seksual dosen terhadap mahasiswinya.

Reza Ghasarma, oknum dosen Universitas Sriwijaya ini tentu paham jika perbuatan cabul nya sampai terbongkar akan berisiko hukum. Reza kini harus mempertanggungjawabkan ulahnya itu. Bahkan setidaknya sudah ada lima orang yang melapor mengaku menjadi korban Reza.

Mereka terdiri dari empat mahasiswi, dan satu orang alumni. Awalnya dugaan pelecehan yang diarahkan ke Reza yaitu pelecehan melalui percakapan di aplikasi perpesanan atau chat terhadap tiga mahasiswinya berinisial C,F, dan D.

Belakangan usai Reza ditetapkan sebagai tersangka, dua nama baru muncul. Keduanya adalah seorang mahasiswi berinisial G dan seorang alumni berinisial R.

Selain sebagai dosen pembimbing para korban Reza juga diketahui sebagai kepala Prodi Fakultas Ekonomi Unsri. Namun statusnya kini nonaktif. Kendati telah ditetapkan sebagai tersangka, Reza Ghasarma disebut-sebut tetap mengajukan penangguhan penahanan. Reza berkilah, nomor pengirim percakapan pelecehan seksual itu bukanlah nomornya.

Sah-sah saja bila pihak Reza membela diri. Meski begitu, Ditreskrimum Polda Sumsel juga tak kalah langkah. Apalagi petugas telah mengantongi bukti kuat, bahwa nomor yang digunakan itu benar nomor milik tersangka.

Selain itu, polisi juga telah menyita sejumlah alat bukti berupa tangkapan layar percakapan, 3 unit ponsel korban, dan 1 unit ponsel milik tersangka. Reza dijerat pasal 9 dan pasal 35 Undang-Undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi. Ancaman pidana maksimal nya 12 tahun penjara.

Masih di Universitas Sriwijaya selain Reza, mencuat pula nama Aditya Rol Azmi. Oknum dosen 34 tahun itu menjadi terlapor dugaan pelecehan seksual secara fisik terhadap mahasiswinya.

Disebutkan pelecehan terjadi saat Aditya tengah bekerja di laboratorium pendidikan sejarah di area FKIP kampus Unsri di Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pada Sabtu 28 Agustus 2021 lalu.

Kebetulan, pada Sabtu itu ada pekerjaan yang belum dituntaskan Aditya yang juga tercatat sebagai kepala laboratorium. Saat bersamaan, seorang mahasiswi datang kepada Reza untuk meminta tandatangan penyelesaian skripsi. Ketika situasi sepi itulah, Aditya melakukan pelecehan terhadap korban.

Meski begitu, Aditya kemudian menegaskan jika dirinya dan korban tidak memiliki hubungan khusus.

Kelakuan dua oknum dosen itu telah mencoreng nama baik Universitas Sriwijaya. Pihak kampus pun lantas mengambil langkah tegas terhadap mereka.

Pengamat sosial Devie Rahmawati mengatakan fenomena pelecehan seksual yang dilakukan oknum dosen kepada mahasiswinya dipengaruhi oleh relasi kuasa. 

“Ada persoalan posisi antara orang-orang yang bilik diduga sebagai pelaku tak ada korbannya yang tidak seimbang. Artinya para pelaku memiliki kecenderungan untuk menggunakan kekuasaannya terhadap orang-orang yang kemudian menjadi korban, yaitu siswa-siswanya, untuk bisa mengambil manfaat dari posisi yang dia miliki,” tutur Devie.

Kendati pihak Universitas Sriwijaya telah mengambil langkah tegas, pun peraturan Mendikbud ristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di perguruan tinggi juga sudah diterbitkan. Namun, fenomena kekerasan seksual di kampus tetap saja membayangi sejumlah kalangan.

Diyakini kasus di Unsri merupakan fenomena puncak gunung es. Kasus yang terungkap hanyalah segelintir dari banyaknya kasus serupa di Republik ini.

Hal ini diamini Direktur Eksekutif Women Crisis Centre Palembang, Yeni Roslaini Izi. Kasus kekerasan seksual sulit terungkap karena adanya stigma negatif di masyarakat yang juga membuat korban takut untuk melapor.

“Apalagi kita tahu, bahwa aturan hukum terkait kekerasan seksual ini belum ada untuk usia diatas 18 tahun. Sehingga banyak korban yang memilih untuk diam,” imbuh Yeni.

Dari sekitar 51% kasus yang telah diterima oleh Komnas Perempuan selama beberapa tahun terakhir ini, 27% memang terjadi di perguruan tinggi. 

Menurut data kekerasan terhadap perempuan yang diadukan langsung kepada Komnas Perempuan secara langsung, tahun 2020 mengalami peningkatan kasus sekitar 68% dari tahun 2019, menjadi sekitar 2.300 kasus. 

“Jika bandingkan dengan tahun 2019, karena 2020 kan masa awal pandemi, ada kenaikan sekitar 18% kekerasan seksual yang dilaporkan. Pada tahun 2021 berjalan ini kami sedang rekap dan sedang merekap dan verifikasi. Sampai Oktober itu sudah ada 4.500 pengaduan, artinya naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya,” tutur Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan.

Banyak cara untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan kampus. Salah satunya dengan mengharuskan mahasiswa maupun dosen berperan aktif dalam pencegahannya. Selain itu, pertemuan antara dosen dan mahasiswa diluar area maupun jam operasional kampus juga patut dibatasi.(awy)


 

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
15:34
06:55
12:57
01:51
06:48
09:30
Viral