KH Muhammad Hasyim Asy'ari.
Sumber :
  • Wikipedia

Hadratussyeikh KH Hasyim Asy'ari, Guru Para Ulama dan Pejuang untuk Negeri

Kamis, 9 Maret 2023 - 12:20 WIB

tvOnenews.com - Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari, lahir pada 4 Robiulawwal 1292 Hijriah atau 10 April 1875, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ia merupakan putra dari pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah. 

Kyai Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 11 orang bersaudara. Dari garis keturunan ibu maupun ayahnya, ia memiliki garis genealogi dari Sultan Pajang yang terhubung dengan Maharaja Majapahit Brawijaya V.

Kyai Hasyim Asy’ari memiliki julukan Hadratussyaikh yang berarti Maha Guru dan telah hafal Kutub al-Sittah (6 kitab hadits), serta memiliki gelar Syaikhu al-Masyayikh yang berarti Gurunya Para Guru. 

Ia juga bergelar pahlawan nasional dan merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) organisasi Nahdlatul Ulama.

Dalam usia 15 tahun, sekitar tahun 1309 Hijriah atau 1891 Masehi, Muhammad Hasyim mengawali belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di Jawa Timur. 

"Karena kecerdasannya, Kyai Hasyim tidak pernah lama belajar di satu pesantren, karena semua mata pelajaran telah tuntas  dipelajari dalam waktu tidak sampai satu tahun. Begitulah, beliau belajar dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain sebagai Santri Kelana." tulis Agus Sunyoto, bab KH Hasyim Asy'ari, Sang Ulama Pemikir dan Pejuang, dalam buku "Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri" diterbitkan oleh Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sekitar tahun  1310 Hijriyah atau 1892 Masehi, Kyai Hasyim menetap di Makkah selama 7 tahun dan berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Mahfudh At-Tarmisi, Kyai Shaleh Darat Al-Samarani. 

Bulan Muharram 1317 Hijriah atau Juni l899 Masehi, Kyai Hasyim Asy’ari kembali ke Tanah Air dan mengajar di Pesanten Gedang, milik kakeknya, Kyai Usman. 

Kemudian pada bulan Jumadilakhir 1317 Hijriah atau Oktober 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang  tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng dan membangun sebuah bangunan tratak yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal sekaligus tempat ibadah dan belajar santri. Saat itu santrinya hanya 8 orang tetapi tiga bulan kemudian menjadi 28 orang.

Dalam perjalanan selanjutnya, dari pesantrean Tebuireng itu lahir ribuan santri yang setelah lulus tak sedikit di antara santri tersebut yang kemudian tampil sebagai ulama terkenal dan tokoh pejuang yang berpengaruh.

Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)

Terbentuknya NU sebagai wadah Ahlussunnah wal Jama’ah dipengaruhi oleh kondisi pada waktu itu ketika di Timur Tengah telah terjadi momentum besar yang dapat mengancam kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah terkait penghapusan sistem khalifah oleh Republik Turki Modern dan ditambah berkuasanya rezim Mazhab Wahabi di Arab Saudi yang sama sekali menutup pintu untuk berkembangnya mazhab lain di tanah Arab saat itu. 

Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama masyhur berkumpul di Masjidil Haram dan sangat mendesak berdirinya orgasnisasi untuk menjaga kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah.

Setelah melakukan istikharah, para ulama di Arab Saudi mengirimkan sebuah pesan kepada KH Hasyim Asy’ari untuk sowan kepada dua ulama besar di Indonesia saat itu, apabila dua ulama besar ini merestui, maka akan sesegera mungkin dilakukan tindak lanjut, dua orang itu adalah Habib Hasyim, Pekalongan dan Syaikhona Kholil, Bangkalan. 

KH Hasyim Asy’ari dengan didampingi Kiai Yasin, Kiai Sanusi, Kiai Irfan, dan KH R. Asnawi datang sowan ke kediamannya Habib Hasyim di Pekalongan.

Selanjutnya sowan ke Syaikhona Kholil Bangkalan, maka KH Hasyim dan ulama lainnya mendapatkan wasiat dari Syaikhona Kholil untuk segera melaksanakan niatnya itu sekaligus beliau merestuinya.

Logo Nahdlatul Ulama

NU didirikan pada 16 Rajab 1344 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Kota Surabaya. Hingga saat ini NU telah memiliki anggota hingga lebih dari 95 juta pada Tahun 2021 dan menjadikannya sebagai organisasi Islam terbesar di dunia. 

NU juga merupakan badan amal yang mengelola pondok pesantren, sekolah, perguruan tinggi, dan rumah sakit serta mengorganisir masyarakat untuk membantu peningkatan kualitas hidup umat Islam.

Perang Surabaya dan Fatwa Jihad Kyai Hasyim Asy'ari

Hari itu, Kamis 25 Oktober 1945, Tentara Inggris dari Brigade 49 pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby mendarat di Surabaya.

Sang Jenderal sekutu berusia 42 tahun ini datang pasca kerusuhan akibat pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato (Sekarang Hotel Orange) yang memicu kemarahan rakyat Surabaya.

Ketika itu, massa rakyat Surabaya mengepung hotel Yamato dan merobek kain berwarna biru dari bendera Belanda sehingga tersisa adalah warna merah dan putih yang kemudian dikibarkan diatas hotel Yamato.

Bersama kedatangan Jenderal Mallaby, satu pesawat Dakota juga diterbangkan dari Jakarta dan menyebar pamflet yang berisi ultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata rampasan.

Namun ultimatum itu dijawab oleh para pejuang dengan serangan besar-besaran pada hari Minggu pagi, 28 Oktober 1945.

Pertempuran yang berlangsung selama dua hari itu, 28-29 Oktober itu memaksa Brigade 49 dari Divisi 23 yang berjulukan "The Fighting Cock" terpaksa angkat bendera putih dan meminta berunding.

Foto: Suasana pertempuran di Kota Surabaya (Dok.Arsip Nasional)

Pasukan Inggris akhirnya membuka perundingan dengan pihak Indonesia. Setelah disepakati gencatan senjata antara Ingris dan Pejuang Surabaya, pada Selasa 30 Oktober para pimpinan sipil maupun militer dan Indonesia dan Inggris melakukan konvoi keliling kota Surabaya untuk mengkampanyekan kesepakatan damai tersebut.

Namun konvoi damai itu berakhir tragis, saat konvoi Mallaby tiba di gedung Internatio pertempuran kembali pecah di lokasi tersebut. Mallaby tewas didalam mobilnya dalam pertempuran yang berlangsung sekitar 2 jam tersebut.

Kematian Mallaby memantik kemarahan Inggris, sepanjang sejarah perang dunia kedua yang mereka jalani, tak ada satupun Jenderalnya yang tewas, tapi di Surabaya dua Jenderalnya tewas, yaitu Brigjen Mallaby pada 30 Oktober 1945 dan Brigjen Robert Guy Loder Symond yang tewas pada puncak pertempuran 10 November 1945.

Perang Surabaya bisa disebut sebagai perang brutal yang dilancarkan Inggris. Tembakan meriam kapal dan pesawat-pesawat pembom yang beraksi sejak pukul 06.00, Sabtu pagi tanggal 10 November 1945 meluluh lantakkan Kota Surabaya. Sebanyak 24 ribu tentara Inggris dikerahkan, tapi semua itu tak menyurutkan perlawanan rakyat mempertahankan kota Surabaya.

Dalam berbagai catatan, diperkirakan 20 ribu rakyat dan pejuang Indonesia gugur dalam pertempuran itu, sementara dari pihak Inggris, sekitar 1.600 orang tewas.

Salah satu hal yang membuat rakyat Surabaya dan Jawa Timur tak surut melawan kekuatan pasukan Inggris adalah fatwa jihad yang diserukan oleh para ulama di Jawa Timur, salah satunya adalah fatwa jihad untuk mempertahankan kemerdekaan yang disampaikan oleh Kyai Hasyim Asy'ari pada 17 September 1945.

Fatwa jihad, 17 September 1945 dari Kyai Hasyim Asy'ari berbunyi seperti berikut ini:

1. Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita adalah fardhu 'ain bagi setiap orang Islam, sekalipun itu orang Islam yang fakir.

2. Hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan 
melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid.

3. Hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini 
wajib dibunuh. 

Berpijak pada fatwa ini, para ulama di Jawa dan Madura kemudian mengukuhkan Resolusi Jihad dalam sebuah rapat yang digelar pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di kantor PB NU Bubutan, Surabaya.

Dikutip dari Rijal Mummaziq dalam "Resolusi Jihad dan Pengaruhnya dalam Kemerdekaan RI" rapat itu ditutup dengan pidato Kyai Hasyim:

"Apakah ada dan kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah. 

Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun. 

Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya. Maka barangsiapa yang memecah pendidirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapa pun orangnya.

Dalam tempo singkat, fatwa Resolusi Jihad Fi Sabilillah ini disebarkan melalui masjid, musalla, dan gethuk tular alias dari mulut ke mulut. Atas dasar pertimbangan politik, Resolusi Jihad ini tidak disiarkan melalui radio dan surat kabar. (buz)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
09:25
02:55
01:16
04:03
01:20
01:19
Viral