ilustrasi wakaf.
Sumber :
  • zakat.or.id

Tata Cara Pemanfaatan harta Wakaf Sesuai Syariat

Selasa, 3 Mei 2022 - 12:54 WIB

Para ahli fiqih mendefinisikan wakaf adalah sebuah praktik sedekah harta secara permanen dengan membekukan pemanfaatannya (tasaruf) untuk hal-hal yang diperbolehkan syariat.

Sebagai contoh, seorang muslim memberikan sebuah gedung untuk yayasan tertentu. Karena individu ini berniat memberikan gedung ini dengan status wakaf maka gedung tersebut tidak diperbolehkan untuk dijual kembali atau dihibahkan kepada pihak lain. Pengelola atau yayasan itu hanya diperkenankan mengatur pemanfaatan tanah tersebut untuk kemaslahatan yayasan sesuai yang diamanahkan.

Beberapa riwayat menyatakan bahwa wakaf pertama kali dalam sejarah Islam adalah wakaf yang dilakukan oleh Umar bin Khatab atas sebidang tanah Khaibar yang dimilikinya. Hal itu beliau lakukan atas perintah Nabi.

Sahabat Umar memberi beberapa syarat atas pewakafan tanah tersebut di antaranya tidak boleh dijual, diwariskan, dan juga dihibahkan.

Sahabat Umar juga memberi syarat agar pengelolanya diperkenankan memakan atau memberi makan kerabatnya dari hasil bumi tanah tersebut dengan sewajarnya, tidak berlebihan, dan bebas layaknya orang yang memiliki hak kepemilikan secara pribadi.

Riwayat lain menyebutkan wakaf pertama kali dalam Islam adalah wakafnya Nabi atas harta yang beliau terima dari Mukhairiq, seorang alim dari Bani Nadlir. Nabi menerima pemberian harta wasiat dari Mukhairiq di tahun ketiga Hijriyyah, kemudian selang beberapa waktu Nabi mewakafkannya (lihat: Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 6, hal. 236).

Para ulama sepakat bahwa wakaf merupakan ibadah yang dianjurkan syariat. Sebelum ijma’ (konsensus ulama), terdapat banyak dalil yang menjelaskan pensyariatan dan keutamaan wakaf. Di antaranya firman Allah:

لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ.

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran: 92).

Sahabat Abu Thalhah saat mendengar ayat tersebut bergegas mewakafkan kebun kebun kurma miliknya yang paling ia sukai. Nabi pun sangat mengapresiasi apa yang dilakukan Abu Thalhah, hingga beliau bersabda “Bagus sekali. Itu adalah investasi yang menguntungkan (di akhirat).” (HR al-Bukhari).

Selain itu Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang populer:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

“Ketika anak Adam mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim).

Menurut para ulama, sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya) dalam konteks hadits di atas salah satunya bermakna sebagai wakaf, karena wakaf adalah bentuk sedekah yang dapat dimanfaatkan secara permanen oleh pihak penerimanya, sebab syariat memberi aturan agar benda yang diwakafkan dibekukan tasarufnya.
Artinya semisal seseorang mewakafkan tanah menjadi masjid, pahalanya akan terus mengalir untuk pewakaf seiring dengan kelestarian pemanfaatan masjid tersebut.

Hal ini berbeda dengan sedekah atau hibah, misalnya menghibahkan tanah kepada pihak tertentu, pahalanya tidak dapat dijamin bisa lestari, sebab bisa saja pihak penerima hibah menjualnya.
Di sisi lain, kepemilikan tanah tersebut menjadi hak penerima hibah, berbeda dengan harta wakaf yang status kepemilikannya kembali kepada Allah.

Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:

والولد الصالح هو القائم بحقوق الله تعالى وحقوق العباد ، ولعل هذا محمول على كمال القبول . وأما أصله فيكفي فيه أن يكون مسلما ، والصدقة الجارية محمولة عند العلماء على الوقف كما قاله الرافعي فإن غيره من الصدقات ليست جارية، بل يملك المتصدق عليه أعيانها ومنافعها ناجزا. وأما الوصية بالمنافع وإن شملها الحديث فهي نادرة فحمل الصدقة في الحديث على الوقف أولى.

“Anak saleh adalah orang yang memenuhi hak-hak Allah dan hamba-hamba-Nya. Mungkin saja ini diarahkan kepada kesempurnaan diterimanya doa. Adapun inti diterimanya doa, maka cukup anak yang muslim. Sedekah jariyah diarahkan kepada wakaf menurut para ulama seperti yang dikatakan imam al-Rafi’i, sesungguhnya selain wakaf dari beberapa sedekah tidak mengalir pahalanya, bahkan pihak yang diberi sedekah memiliki benda dan manfaatnya secara langsung. Adapun wasiat dengan beberapa manfaat meski tercakup oleh hadis, akan tetapi jarang diterapkan. Maka mengarahkan sedekah dalam hadis atas arti wakaf lebih utama.”(Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2 hal. 485).

Setelah anjuran wakaf disabdakan Nabi, para sahabat sangat gemar mewakafkan hartanya. Bahkan menurut catatan sejarah, wakaf menjadi ibadah yang populer saat itu. Hingga sahabat Jabir menuturkan bahwa setiap sahabat yang memiliki kemampuan finansial pasti mewakafkan hartanya. Imam al-Syafi’i menegaskan ada 80 sahabat Anshar yang bersedekah wakaf.

Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji keterangan sebagai berikut:

وقد اشتهر الوقف بين الصحابة وانتشر، حتى قال جابر رضي الله عنه: ما بقى أحد من أصحاب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - له مقدرة إلا وقف. وقال الشافعي رحمه الله تعالى: بلغني أن ثمانين صحابياً من الأنصار تصدّقوا بصدقات محرمات. والشافعي رحمه الله يطلق هذا التعبير (صدقات محرمات) على الوقف.

“Dan telah masyhur berwakaf di antara sahabat dan menyeluruh, sehingga sahabat Jabir berkata; tidaklah tersisa dari para sahabat Nabi yang memiliki kemampuan (finansial) kecuali mewakafkan hartanya. Al-Imam al-Syafi’i berkata; telah sampai kepadaku bahwa 80 sahabat dari Anshar bersedekah dengan sedekah yang diharamkan (dijual dan dihibahkan). Al-Syafi’i mengucapkan redaksi ‘sedekah yang diharamkan’ ini untuk arti wakaf.” (Syekh Dr. Mushtafa al-Khin dkk., al-Fiqh al-Manhaji, juz 5, hal. 11).

Prinsip Pemanfaatan Harta Wakaf

Wakaf menjadi salah satu bukti Islam sebagai agama yang mencintai berbagi dan kemanusiaan. Wakaf adalah memberikan benda untuk keperluan atau maslahat umat. Wakaf seringkali berupa sebidang tanah maupun benda yang dapat digunakan ataupun diambil manfaatnya. Oleh karenanya penting untuk mengetahui prinsip pemanfaatan harta wakaf.

1. Dijaga keberadaan, keselamatan dan kelestariannya

Harta wakaf telah berubah haknya menjadi hak Allah. Oleh karenanya harta wakaf tidak boleh berpindah kepemilikan, berkurang atau menghilang manfaatnya. Untuk menjaganya diperlukan kesungguhan dalam kepemilikan dan kelestarianya. Sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma :

إِنِّي أنْزَلْتُ مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَالِي الْيَتِيْمِ

“harta yang telah diwaqafkan tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan.” (muttafaq alaihi). Akan tetapi kepemilikanya dan pengelolanya harus jelas agar tidak menimbulkan konflik. Maka sebaiknya tanah wakaf memiliki sertifikat dan jika belum segera dibuatkan.

2. Dimanfaatkan seoptimal mungkin

Harta wakaf biasanya dilengkapi dengan syarat bentuk pemanfaatan sesuai dengan keinginan pewakaf (wakif) dalam akadnya, namun juga boleh tidak tanpa keinginan si pewakaf. Jika telah dilengkapi bentuk pemanfaatan oleh wakif maka harus dituruti. Hal ini dijelaskan dalam kaidah fiqh,

شَرْطِ الْوَاقِفِ كَنَصِّ الشَّارعِ

“Syarat yang ditetapkan oleh wakif kedudukanya sama dengan ketetapan syara’.”

3. Dijaga asas kebermanfaatannya

Pemanfaatan harta wakaf haruslah memegang prinsip yang pertama yakni dijaga keberadaan, keselamatan dan kelestarianya agar tidak berkurang kebermanfaatanya.

Jika syarat yang diberikan wakif tidak sesuai kebutuhan mendesak umat dan jika dilakukan akan mengurangi nilai kebermanfaatan harta wakaf tersebut maka boleh dirubah pemanfaatanya agar lebih besar nilai kebermanfaatanya.

Semisal syarat yang diberikan adalah pembangunan masjid sedang umat telah memiliki masjid yang baik di daerah maka masjid dari tanah wakaf ini akan kurang bermanfaat dan dapat dilihat sebagai pemborosan. Perubahan pemanfaatan ini pun dibolehkan oleh kaidah fiqh:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْضُوْرَاتِ

“keadaan darurat membolehkan yang dilarang”.

Kemudian dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan keadaan darurat termasuk menjaga kemaslahatan. Adapun pemanfaatanya nanti sesuai dengan kebutuhan umat di sana, bisa berupa fasilitas kesehatan, ekonomi, pendidikan, dll.

Dengan uraian diatas dapat disimpulkan untuk memanfaatkan harta wakaf harus dilakukan usaha yang cermat dan sungguh-sungguh sesuai dengan aturan syariah. Jika usaha untuk melakukanya sudah maksimal hendaknya untuk bertawakkal. (afr)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
05:04
01:52
00:44
03:48
01:02
01:32
Viral