Nusa Tenggara Timur - Seorang petani cengkeh Hendrikus Ampak (51), tidak pernah lagi merasakan bagaimana nikmatnya memanen cengkeh padahal ia sendiri merupakan salah satu penghasil cengkeh cukup besar di Desa Wewo, Kecamatan Satar Mese Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Namun pada 2018 lalu, tidak satupun pohon cengkeh di Desa Wewo yang berbuah termasuk ratusan pohon cengkeh di kebun Hendrikus, di Ndosor. Awalnya hal tersebut dianggap biasa saja olehnya.
Tapi fenomena ini berlanjut sampai sekarang. Akibat kejadian tersebut perekonomian warga pun ikut merosot.
“Kalau ngomong tahun 2017 kebawah petani cengkeh di Desa Wewo, lumayanlah tapi sekarang sudah pada jatuh miskin karena empat tahun tidak ada pohon cengkeh yang berbuah. Saya punya ada 150 pohon tak pernah berbuah lagi,” tutur Hendrikus saat ditemui di kebun cengkehnya di Ndosor Wewo, Jumat (24/6/2022).
“Saya pribadi kehilangan pendapatan Rp 75 juta per tahun. Biasanya di bulan Juni seperti ini mulai senang, cengkeh mulai tunas dan panen bulan September sampai Oktober."
"Tapi sekarang gigit jari saja padahal harga cengkeh sekarang sudah seratus ribu lebih. Sakit hati betul,” keluh dia.
Karena tidak pernah bertunas lagi, kebun cengkeh milik Hendrik dibiarkan terlantar tanpa perawatan. Hanya sesekali saja ia datang untuk mengecek jika mungkin ada pohon cengkeh yang tumbang atau jika terjadi hujan lebat dan angin kencang.
Untuk membiayai anaknya yang masih kuliah di sebuah universitas di Jakarta, Hendrik pun berusaha merajut usaha kecil-kecilan di desanya dan hanya bermodal uang hasil pinjaman bank.
"Coba tanya, hampir semua orang di Desa Wewo berutang di koperasi dan bank. Kebun cengkeh yang bersertifikat jadi agunan. Untuk membayar bulanan pinjaman itu ya kerja apa saja sambil berharap tahun depan bisa panen cengkeh dan bisa melunasi utang-utang itu,” beber Hendrikus.
Kondisi serupa juga dialami oleh Maria Sinta. Seorang janda 48 tahun yang ditinggal mati suaminya. Ia mengaku tidak pernah merasakan nikmatnya petik cengkeh sejak tahun 2018 lalu.
Jika pohon cengkeh sebanyak 100 pohon miliknya masih berbuah, mungkin Maria dapat menyekolahkan ke lima anaknya.
Akibat dari cengkeh-cengkeh di kebunnya yang tidak berbuah sama sekali dalam empat tahun berturut-turut membuat ia tidak bisa menguliahkan dua orang anaknya yang sudah lulus SMA.
“Jangankan ngomong kuliah anak, untuk makan sehari-hari saja susah. Dua anak saya sudah tamat SMA. Masih tiga yang duduk di SMP dan SD. Entah bagaimana nasib ke depan ini ya kami pasrah saja. Kami berharap semoga cengkeh bisa berbuah lagi tahun depan,” ujarnya.
Diketahui, saat menurunnya produktivitas bunga cengkeh pada tahun ini, harga jual cengkeh kering di pasar justru malah menggairahkan yakni sekitar Rp115.000 rupiah per kilo.
Efek Perubahan Iklim
Kepala Desa Wewo, Laurensius Langgut menceritakan bahwa desanya merupakan penghasil cengkeh terbanyak di Kabupaten Manggarai dengan luas kebun cengkeh mencapai 100 hektar.
Selain itu, kualitas cengkeh di Desa Wewo diakui menjadi yang terbaik berdasarkan pengujian laboratorium dan pengakuan pembisnis cengkeh di Surabaya.
“Cengkeh pertama Mangarai itu di Desa Wewo, ditanam serempak tahun 1972 perintah langsung dari Bupati Lega dan cengkeh-cengkeh mulai panen tahun 1986. Kebun cengkeh di sini yang terbesar di Manggarai dan kualitasnya pun top,” klaim Kades Laurensius.
Kepala Desa yang baru menjabat selama 6 bulan ini juga memiliki ratusan pohon cengkeh dan semuanya tidak berbuah. Dia bilang, bukan hanya cengkeh tapi kemiri dan pohon cokelat juga berhenti berbuah sejak tahun 2019.
“Kami benar-benar mengalami kesulitan ekonomi yang luar biasa. Cengkeh, kemiri dan cokelat tidak berbuah. Warga kehilangan 75 persen pendapatan mereka. Untung saja ada rambutan dan durian yang masih bisa kita jual itupun produksinya sangat minim,” terangnya.
Kades Laurensius Langgut menyampaikan, bahwa tidak berbuahnya semua tanaman perdagangan di Desa Wewo dipicu dengan adanya perubahan iklim.
Menurut dia, curah hujan di Desa Wewo memang tinggi setiap tahunnya dan di sertai penurunan suhu.
“Cengkeh kalau hujan terus ya pasti tidak akan berbuah. Sementara curah hujan selama beberapa tahun ini makin tinggi. Demikian juga suhu yang terasa begitu dingin sekarang pak. Makanya denga tidak bertunasnya cengkeh dan tanaman perdagangan lain tidak lain karena iklim yang tidak menentu. Sekarang ini mestinya sudah kemarau panjang tapi faktanya seminggu bisa tiga kali turun hujan lebat,” imbuh Laurensius.
Sementara, menurut Stasiun Meteorologi Frans Sales Lega, merekam angka curah hujan dari Januari-Mei 2022 sebesar 1707.4 mm. Sedangkan pada kurun waktu yang sama pada tahun 2021, curah hujan berada pada 69.9 mm.
Tingginya curah hujan di Kabupaten Manggarai, tulis Stamet Frans Sale Lega, dipicu fenomena La Nina yang terjadi sejak Desember 2021 dan terpantau masih aktif hingga Juni 2022.
Pergeseran Musim
Direktur Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, mengatakan, perubahan Iklim yang terjadi akan berdampak sangat signifikan terhadap sektor pertanian. Dampak dari perubahan iklim, sebuat dia, salah satunya cuaca dan pergeseran musim.
Ia menjelaskan, perubahan iklim jelasakan berdampak pada sektor pertanian, karena terjadi pergeseran musim tanam, sehingga para petani sulit memprediksi waktu yang tepat untuk bercocok tanam sehingga akhirnya berujung gagal panen.
“Resikonya petani tidak bisa prediksi. Contonya di Desa Wewo, Manggarai, dan Colol di Manggarai Timur. Dimana dua musim tidak pernah buah, karena perubahan cuaca. Sehingga berdampak terhadap pendapatan petani,” terang Said.
Abdullah menambahkan, selain pada sektor pertanian, perubahan cuaca juga sangat berpotensi, dan akan berdampak pada kesehatan manusia.
“Ada juga banyak orang sakit karena perubahan cuaca,” tutupnya. (Jo Kenaru/mg4/ree)
Load more