Gunungkidul,DIY- Masa Pandemi yang telah berlangsung selama dua tahun, membuat iklim ekonomi secara umum mengalami penurunan yang signifikan. Usaha ekonomi yang dijalankan masyarakat juga banyak yang macet, mati suri bahkan bangkrut.
Ini pula seperti yang dialami oleh pasangan tuna netra Bambang Daryanto (63) dan istrinya Yeni Lanjar (46), warga Padukuhan Waduk, Kalurahan Salam, Kapanewon Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta.
Pasangan penyandang tuna netra ini sebelumnya mempunyai usaha produksi telur asin dan jasa pijat refleksi. Namun usaha ini terpaksa terhenti karena sepinya pasar, sementara pasien pijat juga menurun drastis.
Akhirnya untuk bertahan hidup berkebun menjadi pilihan, dengan menanam jahe dan pisang di pekarangan rumah mereka yang tak begitu luas.
Bambang dulunya adalah seorang sopir, pria kelahiran 1959 ini pada tahun 2008 kehilangan penglihatannya karena sakit. Kondisi ini pulalah yang membuat rumahnya yang sedang direhab karena roboh terkena gempa 2006 juga tidak selesai pembangunannya.
Masalah ekonomi yang semakin membelit juga membuat istrinya yang terdahulu pergi meninggalkannya di tahun 2010. Cobaan bertubi tubi dan menumpuk sempat membuat Bambang frustasi dan kehilangan semangat hidup.
"Waktu itu saya sempat putus asa, bahkan berpikir untuk bunuh diri, dan dua tahun lebih saya tidak keluar rumah," ujar Bambang, Selasa (5/10/2021).
Seiring berjalannya waktu, Bambang masuk di sebuah yayasan Difabel. Dorongan semangat hidup dan pelatihan wira usaha didapatkannya. Di tempat ini juga Bambang berkenalan dengan Yeni Lanjar, wanita tuna netra asal Kulonprogo, yang kemudian memutuskan untuk menikah dan hidup bersama.
"Setelah menikah, saya kemudian mengajak istri saya untuk pulang ke Patuk, dan mulai membuka usaha jasa pijat dan pembuatan telur asin," ujar Bambang sambil mengenang masa lalunya.
Usaha yang dijalankan Bambang sempat maju, dan bisa menjadi penopang ekonomi keluarga barunya. Saat masa pandemi melanda, kondisi pasar mulai sepi. Telur asin produksi pasangan tuna netra ini tak lagi laku, sementara jasa pijat juga sepi.
Meski demikian, semangat Bambang dan istrinya tak luntur. Bercocok tanam di pekarangan rumah dengan menaman jahe dan pisang menjadi pilihan.
"Walau hasilnya tidak seberapa, tapi ya harus bagaimana lagi, kami juga tidak mau hidup dari belas kasihan orang lain," kata Bambang.
Hidup dalam kegelapan selama belasan tahun, membuat Bambang dan istrinya sudah hapal dan bisa menyesuaikan diri saat beraktivitas di rumahnya. Sejumlah barang, letak pintu, tekstur lantai dan suara burung tekukur yang dia pelihara, menjadi penanda arah saat mereka melakukan aktivitas sehari hari.
Status pernikahan mereka yang nikah siri, membuat program bantuan dari pemerintah tak bisa menjangkau keluarga miskin ini. Meski demikian, Bambang dan istrinya mengaku legawa dan menerima hidup apa adanya, dan sepakat menghabiskan masa tua bersama.
"Kami lakoni apa adanya, anak anak dan saudara juga kadang mengunjungi kami, tetangga tetangga di sini juga baik, mereka sering mengingatkan jika pisang saya sudah matang, bahkan tak jarang mau untuk membelinya," pungkasnya.(Lucas Didit/Buz}
Load more