Jakarta - Dunia memperingati World CML Day setiap 22 September. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang salah satu penyakit kanker darah yaitu Chronic Myeloid Leukemia (CML) atau dikenal sebagai Leukemia Granulositik Kronik (LGK) di Indonesia.
Pemeriksaan laboratorium pada pasien LGK yang menunjukkan produksi granulosit abnormal dari leukosit yang berlebihan
Apa Penyebab Leukemia Granulositik Kronik (LGK)?
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSCM/ FKUI dr. Wulyo Rajabto SpPD KHOM, mengungkapkan karakteristik Leukemia Granulositik Kronik adalah ditemukannya Kromosom Philadelphia (Ph Chromosome) di dalam darah pasien, di mana terjadi proses mutasi berupa translokasi materi genetik sebagian lengan kromosom 9 yang memiliki segmen ABL (Abelson) menuju dan menempel pada segmen BCR (Break Point Cluster) di lengan kromosom 22 sehingga terbentuk protein baru BCR-ABL di lengan kromosom 22.
"Namun sampai saat ini, penyebab mutasi pada LGK belum diketahui dengan pasti, ada pendapat ahli yang menyatakan bahwa paparan radiasi meningkatkan risiko proses mutasi terjadinya LGK," ujar dr. Wulyo Rajabto.
Ia menambahkan, di negara-negara barat, median usia pasien-pasien LGK biasanya adalah 45-55 tahun, sedangkan di Asia, termasuk Indonesia, median usia pasien-pasien LGK lebih muda, berkisar 30-40 tahun. Pria lebih banyak yang mengalami LGK di bandingkan Wanita.
Ilustrasi Kromosom Philadelphia
Gejala dan Tanda Klinis LGK
Sebagian pasien-pasien LGK, kata dr.Wulyo, tidak menimbulkan gejala. Pada pasien-pasien LGK yang tidak bergejala, saat pemeriksaan medical check-up baru ketahuan kalau kadar leukositnya di atas 100.000/uL.
"Sebagian pasien-pasien LGK yang bergejala, keluhannya juga tidak khas, biasanya berkaitan dengan efek pembesaran limpa dan kekurangan darah, yaitu: perut rasa begah, terasa ada benjolan di perut kiri atas, lemah, cepat capek, bisa muncul penurunan berat badan akibat tidak selera makan," ungkap Staf Divisi Hematologi-Onkologi Medik RSCM ini.
Setelah melakukan pemeriksaan fisik, dokter bisa menemukan limpa pasien LGK membesar atau splenomegaly.
Bagaimana Dokter Memastikan Diagnosis LGK?
Untuk menegakkan diagnosis LGK, dokter akan melakukan bone marrow aspiration (aspirasi cairan sumsum tulang) kemudian memeriksa cairan sumsum tulang tersebut di bawah mikroskop sehingga terlihat jumlah leukosit seri granulosit yang meningkat, memeriksa sitogenetika untuk menemukan Kromosom Philadelphia, dan memeriksa RT-PCR untuk menemukan gen BCR-ABL.
Jumlah granulosit pada pemeriksaan mikroskop
Pengobatan LGK
Menurut dr. Wulyo Rajabto SpPD KHOM yang pernah belajar tentang Chronic Myeloid Leukemia (CML) atau Leukemia Granulositik Kronik (LGK) di Adelaide, Australia, sebelum memulai pengobatan, dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi-Onkologi Medik (SpPD KHOM) akan melakukan staging dahulu apakah LGK termasuk fase kronis, akselerasi, atau krisis blastik.
Sekitar 85%-90% pasien-pasien LGK yang baru terdiagnosis termasuk LGK fase kronik, ditandai oleh sel-sel blast kurang dari 10%.
Saat ini dengan kemajuan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran dan farmasi, dokter SpPD KHOM bisa mengobati pasien-pasien LGK menggunakan obat-obatan peroral golongan Tyrosine Kinase inhibitors (TKIs) seperti Imatinib, Nilotinib, Dasatinib, atau Bosutinib. Di Indonesia, obat TKI generasi pertama yang tersedia adalah Imatinib, sedangkan obat TKI generasi kedua adalah Nilotinib.
Bagaimana Dokter Memonitor Keberhasilan Pengobatan pada Pasien LGK Fase Kronis?
Apabila dokter memberikan terapi lini pertama Imatinib terhadap pasien LGK fase kronik yang baru terdiagnosis, pengobatan dinyatakan berhasil apabila memenuhi kriteria:
1. Dalam waktu 3 bulan maka mesti tercapai complete hematologic response atau respon hematologi komplit yang ditandai oleh pemeriksaan darah kadar leukosit yang awalnya meningkat drastis menjadi normal dan limpa yang awalnya membesar pada pemeriksaan palpasi perut limpa menjadi normal.
2. Dalam waktu 6 bulan dan 12 bulan pengobatan maka mesti tercapai major molecular response atau respon molekular major yang ditandai oleh pemeriksaan qBCR-ABL kadarnya kurang dari 1% dan kurang dari 0.1%.
Apabila pengobatan dinyatakan berhasil, maka dokter akan melanjutkan Imatinib; namun apabila tidak berhasil, maka dokter akan memberhentikan Imatinib dan menggantinya menjadi Nilotinib.
Agar pengobatan LGK fase kronik berhasil, menurut dr Wulyo Rajabto SpPD KHOM yang praktik di RS Mayapada dan RS MMC Kuningan, Jakarta Selatan, mengajak kepada komunitas pasien-pasien LGK untuk rajin kontrol ke dokter, mengonsumsi obat Imatinib atau Nilotinib secara teratur, dan melakukan pemeriksaan monitoring laboratorium darah rutin setiap bulan dan qBCR-ABL setiap 6 bulan sehingga apabila pengobatan lini pertama Imatinib gagal, dokter bisa segera mengganti dengan pengobatan lini kedua Nilotinib.
dr. Wulyo Rajabto SpPD KHOM adalah Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Staf Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM/FKUI dan Pengurus Harian PP PERHOMPEDIN (Pengurus Pusat Perhimpunan Hematologi-Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia)
(act)
Load more