Arsip Foto. Unjuk rasa mahasiswa di Gedung DPR Jakarta, Selasa 19 Mei 1998..
Sumber :
  • ANTARA

Selamat Tinggal Reformasi

Minggu, 15 Mei 2022 - 11:59 WIB

Keberadaan omnibus law Cipta Kerja, dinilai para pengamat kebijakan publik sebagai jalan menuju resentralisasi. Kewenangan desa atas wilayahnya mulai banyak dikebiri dengan ragam surat edaran menteri yang semakin lama semakin mengikis kewenangan desa. Otonomi khusus lebih banyak digunakan sebagai alat politik iming-iming ketimbang memberi kepercayaan pada rakyat (Papua) untuk mengembangkan dirinya. 

Ketiga, pola rekrutimen terbuka. Awal orde reformasi kita bereuphoria dengan munculnya orang-orang baru yang lebih segar dan inovatif. Kita disuguhkan berbagai macam rekruitmen politik yang lebih memberi kesempatan orang bertalenta dan berkompeten untuk menduduki jabatan-jabatan politik strategis. Lelang jabatan digunakan sebagai inisiatif yang baik untuk menjebol tembok birokrasi. Tetapi itu terjadi saat awal-awal reformasi. Sekarang ini, lelang jabatan dilangsungkan tetapi sesungguhnya secara politik yang riil, lelang jabatan hanyalah prosedur dan yang terpilih sudah menjadi bagian dari konsesi politik. 

Keempat, terjaminnya hak-hak warga negara. Di awal-awal reformasi sampai awal kepemimpinan Jokowi berbagai macam inisiatif untuk menjamin hak-hak warga negara terjadi. Pemenuhan hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas didukung oleh undang-undang yang memastikan anggaran 20% untuk pendidikan. Selanjutnya muncul ide adanya Kartu Indonesia Pintar. Tetapi sekarang ini pendidikan akan semakin didorong untuk menjadi sebuah bisnis ketimbang untuk kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Reforma agraria sebagai jalan untuk memastikan adanya akses penguasaan dan kepemilikan rakyat atas sumber-sumber agraria, hanya sekedar menjadi jargon. Janji untuk melaksanakan reforma agraria di zaman SBY dan Jokowi hanya sekedar janji yang bahkan target yang dicanangkan pemerintah sendiri pun tidak bisa terpenuhi.

Belum lagi jika kita melihat secara substantif. Maka tak heran jika kemudian, pakar reforma agraria, Gunawan Wiradi mengatakan sebaiknya para presiden tidak menyebutnya sebagai reforma agraria tetapi cukup disebut saja sebagai kebijakan pertanahan karena secara substantif reforma agraria ala SBY dan Jokowi tidak dapat memenuhi kaidah reforma agraria yakni merubah relasi yang timpang. 

Sampai sekarang tetap saja masih terjadi ketimpangan agraria. Bahkan Bachriadi (2017 dan Hardiyanto (2020) menyebut reforma agraria SBY dan Jokowi sebagai reforma agraria palsu!

Begitu juga dalam pemenuhan hak-hak buruh. Seperti yang kita ketahui bersama, adanya omnibus law cipta kerja yang sekarang ini banyak menimbulkan protes tak lepas dari keinginan buruh untuk mendapatkan hak-haknya secara lebih baik. Tetapi buruh harus kalah dengan keinginan pemerintah untuk memastikan bahwa investor/pengusaha masuk ke Indonesia. 

Berita Terkait :
1
2
3 Selanjutnya
Topik Terkait
Saksikan Juga
02:07
03:49
01:14
08:35
01:28
01:58
Viral