Pematangsiantar, tvOnenews.com - Pelaksanaan konferensi pers yang dilaksanakan Menteri Keuangan dan Menkopolhukam terkait temuan PPATK, pada tanggal 11 Maret 2023 kemarin di Jakarta, kembali mendapat kritikan pedas dari bawahannya Bursok Anthony Marlon, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Utara II, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, yang sempat viral beberapa waktu yang lalu.
Dalam surat terbuka yang dikirim Bursok ke redaksi, Senin (13/3/2023), Bursok menyebut bahwa secara implisit Sri Mulyani menyinggung pengaduannya hanya sebagai pengaduan yang berindikasikan penipuan atas investasi bodong, dan Menkeu masih menganggap pengaduan Bursok tersebut adalah masalah pribadi.
Selanjutnya saat Menkopolhukam, Mahfud MD, menyatakan adanya dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang bukan korupsi dan menyinggung Rafael Alun Trisambodo, Sri Mulyani tidak mengomentari pernyataan tersebut dari sisi peraturan perundang-undangan perpajakan.
“Dari dua poin tersebut saya sampaikan dan tegaskan kembali kepada Menkeu Sri Mulyani bahwa pengaduan saya, yang sudah ibu limpahkan ke OJK dengan surat nomor S11/IJ.9/2022 tanggal 21 April 2022 yang saya duga bodong dan ternyata masih ada di Direktorat Intelijen Perpajakan KPDJP, bukanlah pengaduan yang berindikasikan penipuan atas investasi bodong,” tegas Bursok.
Menurut Bursok, pengaduan yang ia sampaikan terkait adanya PT bodong yang bernama PT Antares Payment Method dan PT Beta Akses Vouchers yang tidak memiliki NPWP, tidak terdaftar di Kemenkumham, tapi bisa memiliki penghasilan di negara Republik Indonesia dengan cara membuka rekening virtual di 8 bank dan tidak membayar pajak.
“Menurut saya dengan tidak membayar pajak adalah sama dengan korupsi. Investasinya sama sekali tidak bodong. Bahkan hingga saat ini Capital.com dan OctaFX masih beroperasi. Investasi bodong dan PT bodong adalah dua hal yang sangat berbeda, mohon Ibu Sri Mulyani dapat membedakan dan mencermatinya,” ungkap Bursok.
Masih menurut Bursok, bila pengaduannya masih dianggap sebagai permasalahan pribadi, dirinya telah menjawab melalui surat tertanggal 2 Maret 2023 di mana dalam pengaduan yang ia telah laporkaan sebelumnya bukan memberikan keuntungan pribadi bagi dirinya.
“Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya bahwa pengaduan saya tersebut berpotensi menambah keuangan negara di mana ada bagian dari pendapatan negara, hak negara, yang diabaikan oleh banyak pihak yang jumlahnya tidaklah sedikit, bukan untuk saya atau pribadi saya,” sebut Bursok lagi.
Seharusnya sebagai orang nomor satu di Kementerian Keuangan RI, menurut Bursok, Sri Mulyani harusnya memberikan koreksi dan masukan kepada Menkopolhukam Mahfud MD, di mana oknum terduga pelanggar TPPU bisa dijerat dengan dugaan pelanggaran tindak pidana korupsi bila dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan perpajakan.
“TPPU itu jika mau digambarkan, seperti oknum yang memiliki usaha ilegal, seperti membuka usaha perjudian, menjual narkoba dan lain-lain, di mana uang haram yang dihasilkannya tersebut ‘dicuci’ dengan cara misalnya ditabung di bank, sehingga uang haram tersebut menjadi tercampur dengan uang halal yang ditabung masyarakat atas penghasilannya yang diperoleh dari usaha yang halal. Uang haram yang telah ‘tercuci’ tersebut bisa jadi telah tersebar melalui mesin ATM dari Sabang sampai ke Merauke. Yang menjadi pertanyaan, lantas, bagaimana uang haram tersebut bisa masuk ke dalam sistem keuangan di perbankan? Salah satunya adalah dengan membuat PT PT bodong, seperti PT Antares Payment Method dan PT Beta Akses Vouchers dengan melakukan kerjasama ke berbagai bank untuk dibuatkan rekening virtualnya,” beber Bursok.
Lebih jauh Bursok menjelaskan, TPPU sejatinya juga merupakan pelanggaran korupsi, bila diambil contoh kasus Rafael Alun Trisambodo yang memiliki uang sebesar Rp37 miliar di SDB (Safe Deposit Box) dengan menggunakan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jumlah temuan sebesar Rp37 miliar yang menurut KPK tidak ada dilaporkan dalam LHKPN seharusnya tidak juga tercantum dalam SPT Tahunan RAT, di mana berdasarkan pasal 17 UU Pajak Penghasilan, dari penghasilan kena pajak sebesar Rp37 miliar tersebut, terdapat PPh yang terutang sebesar Rp12.644.000.000,00 (dua belas miliar enam ratus empat puluh empat juta rupiah).
Itulah pajak yang seharusnya disetorkan ke kas negara. Bila jumlah sebesar Rp12.644.000.000,00 tersebut tidak dibayarkan, di sanalah terjadinya kerugian negara di mana tidak membayar pajak sama dengan korupsi.
“Sanksi atas dugaan tindak pidana perpajakan ini bisa ditetapkan berdasarkan kuasa pasal 39 UU KUP di mana sanksinya berupa pidana maksimal 6 tahun penjara dan denda maksimal 4 empat kali jumlah pajak yang tidak dibayar tersebut. Sehingga negara berpotensi mendapatkan haknya sebesar maksimal Rp63.220.000.000,00 (enam puluh tiga miliar dua ratus dua puluh juta rupiah)”, katanya lagi.
Yang menjadi pertanyaan menurut Bursok, mengapa pendekatan dari sisi perpajakan ini tidak diungkapkan Sri Mulyani kepada Menkopolhukam, Mahfud MD.
“Saya menduga, jika Ibu mengetahui bahwa pendekatan dari sisi perpajakan seperti inilah yang menjadi salah satu yang diduga kuat bisa membuat harta oknum-oknum pegawai DJP menjadi jumbo luar biasa. Terduga pelanggar TPPU diduga bisa saja diskenariokan untuk tidak perlu membayar ke negara sebesar maksimal enam puluh tiga miliar dua ratus dua puluh juta rupiah. Cukup bayar ke kantong oknum DJP setengahnya dan semua menjadi aman terkendali. Itu sebabnya kenapa Ibu tidak mau menjawab pertanyaan saya terkait para pejabat yang tertangkap tangan (OTT) oleh KPK atau aparat penegak hukum lain, tidak serta merta dijadikan tersangka pelaku pelanggaran tindak pidana perpajakan,” tutup Bursok. (Dsg/Nof)
Load more