Oleh: Barid Hardiyanto*
Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa tahun belakangan ini kita ditempa oleh berbagai persoalan yang mengancam reformasi seperti soal rencana penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden dan sebelumnya revisi Undang-undang terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), politik identitas dalam pilkada maupun pilpres dan lain-lain . Kondisi ini bisa menjadi penanda reformasi yang dikorupsi.
Untuk melihat kondisi reformasi yang dikorupsi maka mari bersama-sama kita melihat beberapa karakter reformasi dan kemudian membandingkannnya dengan situasi terkini (yang telah dikorupsi).
Pertama, pemilu yang lebih demokratis. Pemilu yang dijalankan di era reformasi memang banyak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan pilihan yang relatif lebih bebas tetapi sayangnya pemilihan yang dilakukan kemudian lebih banyak dikenal sebagai demokrasi prosedural. Demokrasi prosedural berarti prosedurnya dijalankan tetapi proses dan output yang dihasilkan tidak mencerminkan harapan yang sesungguhnya.
Secara kongkret kita dapat lihat bahwa para anggota legislatif yang dipilih lebih berkecenderungan mewakili para pengusaha baik nasional maupun multinasional ketimbang mewakili rakyatnya yang lebih membutuhkan untuk diwakili (buruh, tani, miskin kota, perempuan, difable, kaum minoritas dan lain-lain). Hal ini ditandai dengan terbitnya revisi UU KPK, UU Minerba. Revisi UU MK dan Omnibus Law Cipta Kerja.
Di eksekutif juga demikian, harapan masyarakat pada Jokowi untuk di periode kedua kepemimpinannya, ia bisa tanpa beban dan lebih memperhatikan nasib wong cilik justru yang terjadi Jokowi pun lebih cenderung membela yang kuat. Saat ini Jokowi lebih sering meresmikan tol ketimbang menemui para pendemo yang berharap aspirasi diterima. Bahkan rencana adanya penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi pukulan telak bagi reformasi.
Kedua, rotasi kekuasaan dari pusat ke daerah. Di masa-masa awal reformasi kita menikmati otonomi daerah, otonomi khusus bahkan “otonomi desa” tetapi sekarang, rotasi kekuasaan tersebut kembali menuju resentralisasi.
Keberadaan omnibus law Cipta Kerja, dinilai para pengamat kebijakan publik sebagai jalan menuju resentralisasi. Kewenangan desa atas wilayahnya mulai banyak dikebiri dengan ragam surat edaran menteri yang semakin lama semakin mengikis kewenangan desa. Otonomi khusus lebih banyak digunakan sebagai alat politik iming-iming ketimbang memberi kepercayaan pada rakyat (Papua) untuk mengembangkan dirinya.
Ketiga, pola rekrutimen terbuka. Awal orde reformasi kita bereuphoria dengan munculnya orang-orang baru yang lebih segar dan inovatif. Kita disuguhkan berbagai macam rekruitmen politik yang lebih memberi kesempatan orang bertalenta dan berkompeten untuk menduduki jabatan-jabatan politik strategis. Lelang jabatan digunakan sebagai inisiatif yang baik untuk menjebol tembok birokrasi. Tetapi itu terjadi saat awal-awal reformasi. Sekarang ini, lelang jabatan dilangsungkan tetapi sesungguhnya secara politik yang riil, lelang jabatan hanyalah prosedur dan yang terpilih sudah menjadi bagian dari konsesi politik.
Keempat, terjaminnya hak-hak warga negara. Di awal-awal reformasi sampai awal kepemimpinan Jokowi berbagai macam inisiatif untuk menjamin hak-hak warga negara terjadi. Pemenuhan hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas didukung oleh undang-undang yang memastikan anggaran 20% untuk pendidikan. Selanjutnya muncul ide adanya Kartu Indonesia Pintar. Tetapi sekarang ini pendidikan akan semakin didorong untuk menjadi sebuah bisnis ketimbang untuk kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Reforma agraria sebagai jalan untuk memastikan adanya akses penguasaan dan kepemilikan rakyat atas sumber-sumber agraria, hanya sekedar menjadi jargon. Janji untuk melaksanakan reforma agraria di zaman SBY dan Jokowi hanya sekedar janji yang bahkan target yang dicanangkan pemerintah sendiri pun tidak bisa terpenuhi.
Belum lagi jika kita melihat secara substantif. Maka tak heran jika kemudian, pakar reforma agraria, Gunawan Wiradi mengatakan sebaiknya para presiden tidak menyebutnya sebagai reforma agraria tetapi cukup disebut saja sebagai kebijakan pertanahan karena secara substantif reforma agraria ala SBY dan Jokowi tidak dapat memenuhi kaidah reforma agraria yakni merubah relasi yang timpang.
Sampai sekarang tetap saja masih terjadi ketimpangan agraria. Bahkan Bachriadi (2017 dan Hardiyanto (2020) menyebut reforma agraria SBY dan Jokowi sebagai reforma agraria palsu!
Begitu juga dalam pemenuhan hak-hak buruh. Seperti yang kita ketahui bersama, adanya omnibus law cipta kerja yang sekarang ini banyak menimbulkan protes tak lepas dari keinginan buruh untuk mendapatkan hak-haknya secara lebih baik. Tetapi buruh harus kalah dengan keinginan pemerintah untuk memastikan bahwa investor/pengusaha masuk ke Indonesia.
Sungguh cara berpikir yang tidak lagi sesuai zamannya dimana saat ini banyak investor/pengusaha yang sudah mempunyai literasi dan praktek yang baik dalam memberlakukan kehidupan yang lebih baik bagi pekerjanya dan juga memikirkan dampak lingkungan hidup. Hal ini berbeda dengan cara pikir pemerintah kita yang cenderung old: investasi masuk jika buruh murah dan lingkungan diabaikan.
Seperti yang lazim terjadi, ketika terjadi perubahan ke arah yang lebih buruk maka akan timbul gerakan perlawanan. Dalam konteks gerakan, keberadaan gerakan yang ada sekarang ini merupakan model gerakan yang tidak terlepas dari gerakan sebelumnya. Yang membedakan adalah instrumen gerakan yang digunakan.
Bila kita merunutnya lebih jauh gerakan sekarang ini juga tidak terlepas dari tumbuhnya gerakan 1980an yang kemudian bermuara pada penumbangan rejim orde baru di tahun 1998-an. Tumbangnya rejim orde baru kemudian melahirkan orde reformasi. Aktivis-aktivis yang ada sekarang tampaknya juga tidak terlepas dari peran pembangunan kesadaran kritis era sebelumnya. Jika dulu proses pembangunan kesadaran kritis dilakukan melalui diskusi dan seminar di kampus-kampus, sekarang ini instrumen yang digunakan berupa webinar dan penggunaan media sosial baik facebook, twitter, whatapps, telegram, tik tok dan lain-lain.
Tongkat estafet gerakan telah sampai kepada pembuka jalan lahirnya orde di masa depan. Adanya “mosi” tidak percaya dan gerakan massa yang terus menerus berlangsung secara semiotikal adalah bentuk ketidakpercayaan publik pada negara.
Negara melalui representasinya yakni: eksekutif, legislatif dan yudikatif dipandang oleh kalangan masyarakat sudah tidak lagi dapat dipercaya mewakili keresahan mereka. Reformasi tinggal puing-puing yang berserakan: selamat tinggal orde reformasi! Selamat datang “orde masa depan” yang nantinya akan diisi oleh aktivis gerakan yang sekarang ini sedang berjuang di garis depan.
*Penulis: Barid Hardiyanto (Aktivis Gerakan Mahasiswa ‘98. Dosen di Universitas Amikom Purwokerto dan pengajar tamu UIN Saifuddin Zuhri Purwokerto)
Load more