Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati menyatakan bahwa di dalam Permen (peraturan menteri) itu menimbulkan kesan legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas dengan berbasis pada consent atau persetujuan dari para pihak yang terlibat.
Wakil Ketua Majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah menganggap bahwa Permendikbudristek ini multi tafsir. Ia berargumen bahwa tanpa adanya peraturan menteri ini, ratusan perguruan tinggi milik Muhammadiyah sudah berhasil menerapkan pencegahan
Kekerasan seksual melalui asas Catur Dharmanya.
Ketua DPP PSI, Tsamara Amany memiliki pandangan berbeda. Ia mengatakan dengan adanya Peraturan Menteri ini maka korban kekerasan seksual, khususnya perempuan, memiliki kekuatan hukum untuk melaporkan pelecehan yang dialaminya kepada pihak berwajib.
"Kalau misalnya kata "tanpa persetujuan" itu dianggap legalisasi (perzinahan) misalnya kalau buat saya itu justru menekankan kembali bahwa perempuan itu punya hak sepenuhnya atas tubuhnya. Bukan berarti kemudian kita mendorong perkara legalisasi. Justru harusnya (pencegahan kekerasan seksual) bisa dilakukan melalui mekanisme pendidikan," paparnya.
Tsamara menambahkan, perkara kekerasan seksual khususnya di lingkungan kampus belum diatur di dalam KUHP sehingga peraturan tersebut dapat memperkuat posisi perempuan dalam melawan kekerasan seksual.
Menanggapi argumen Tsamara, Prof. Dimyati menyebut bahwa keberadaan Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 memberikan tekanan kepada perguruan tinggi milik Muhammadiyah. Sebab peraturan ini dinilai mengganggu visi keislaman yang diperjuangkan lembaganya. (afr)