Jakarta, tvOnenews.com – Kasus kekerasan seksual terjadi di salah satu majelis taklim di Purwakarta, Jawa Barat. Kasus tersebut diduga telah terjadi sejak 2017 silam. Namun, korban baru melaporkan.
Kekerasan seksual ini bermula dari istri terlapor meminta anak-anak yang mengaji di rumah terlapor untuk memijat terlapor dengan alasan kelelahan sehabis pulang dari sawah.
Sesampainya di rumah, para korban merasakan perih di bagian kemaluannya.
Merespons hal ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendorong penegakan hukum yang tegas atas tindakan kekerasan seksual tersebut.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, menegaskan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan.
“Jajaran KemenPPPA turut prihatin atas kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah satu majelis taklim di Purwakarta, Jawa Barat. Ini bukanlah kasus kekerasan seksual pertama yang terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan dan dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjadi pelindung anak. Kekerasan seksual terlebih terhadap anak tidak bisa kita toleransi. KemenPPPA mendorong penegakan hukum yang tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan agar menciptakan keadilan bagi para korban dan efek jera terhadap pelaku,” ujar Nahar, Rabu (20/12/2023).
Atas perbuatannya, Nahar mengatakan terlapor dapat dikenai pasal berlapis.
Terlapor diduga telah melakukan tindak pidana persetubuhan dan pencabulan terhadap anak yang melanggar Pasal 76D dan 76E Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Menurut Nahar, hukuman atas tindakan tersebut terdapat ditambah 1/3 karena terlapor merupakan seorang pendidik.
“Selain itu, kejadian ini menimbulkan lebih dari satu korban berdasarkan Pasal 81 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pelaku dapat dipidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Tidak hanya itu, terlapor juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas serta tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik,” lanjut Nahar.
Berdasarkan hasil koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPD) Provinsi Jawa Barat, para korban sudah diberikan pendampingan sesuai dengan kebutuhannya termasuk pendampingan pada saat visum.
“Salah satu pendampingan yang penting diberikan kepada para korban adalah pendampingan psikologis untuk melihat tanda-tanda munculnya permasalahan psikologi serta memberikan penanganan yang tepat bagi para anak korban. Pendamping perlu membangun hubungan baik dan menjadi wadah anak untuk bisa bercerita dengan terbuka dan nyaman. Perlu digali kekhawatiran dan alasan anak tidak mau bercerita terkait peristiwa yang dialami,” tutur Nahar.
Terkait hal tersebut, Nahar menggarisbawahi adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara terlapor dan korban.
“Adanya relasi kuasa antara terlapor dan korban menjadikan korban anak bungkam atas kekerasan seksual yang dialaminya. Dalam hal ini, pelaku merupakan orang dewasa dan dihormati sebagai guru mengaji, menggunakan ancaman dan tekanan untuk menguasai anak korban yang dianggap lemah,” imbuh Nahar.
Nahar mendorong orang tua dan keluarga sebagai orang terdekat anak untuk terus memberikan dukungan dan aktif membangun komunikasi secara terbuka kepada anak.
Selain itu, orang tua seyogyanya tidak menghakimi atau menyalahkan anak yang belum berani menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya.
“Masyarakat juga perlu lebih waspada dan lebih peduli akan lingkungan sekitar sehingga bisa menyediakan lingkungan yang baik dan aman bagi anak. Selain itu, juga tidak memberikan stigma negatif bagi para anak korban dan keluarga,” tutupnya. (rpi/nsi)
Load more