Anindya Bakrie Soroti Isu Iklim di Milken Asia Summit 2025: Banyak Perusahaan Bicara Net Zero, Tapi Butuh Aksi Nyata
- Dok. Kadin Indonesia
Jakarta, tvOnenews.com - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, menegaskan bahwa isu perubahan iklim merupakan persoalan yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Pesan itu ia sampaikan dalam Milken Asia Summit 2025 yang digelar di Four Seasons Hotel Singapura, Jumat (3/10/2025) waktu setempat.
Menurut Anindya, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi ancaman nyata akibat perubahan iklim. Dengan lebih dari 17.500 pulau, sebagian di antaranya kini mulai hilang akibat kenaikan permukaan laut.
Hal ini, kata dia, menjadikan isu perubahan iklim bukan sekadar wacana global, melainkan persoalan eksistensial bagi bangsa Indonesia.
“Saat kita bicara tentang perubahan iklim untuk Indonesia, ini sangat-sangat personal. Kami berasal dari negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.500 pulau. Beberapa di antaranya bahkan mulai menghilang di depan mata kita," kata Anin, dikutip Sabtu (4/10/2025).
Anin menambahkan, dampak perubahan iklim tak hanya dirasakan pada sektor lingkungan, tetapi juga mempengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari, mulai dari rantai pasok pangan, ketersediaan air bersih, hingga kebutuhan energi nasional.
“Itu sebabnya, ketika kami berkomitmen untuk mencapai net zero pada 2060, kami sebenarnya ingin mencapainya lebih cepat, tentu dengan bantuan dari berbagai pihak, termasuk sektor swasta,” jelas Anin.
Anindya juga menyoroti potensi besar Indonesia dalam mendukung agenda dekarbonisasi global. Ia menyebut Indonesia memiliki keunggulan strategis dari sisi sumber daya alam dan energi terbarukan.
Di bawah tanah, Indonesia menyimpan cadangan besar mineral kritis seperti nikel dan tembaga. Sementara di atas permukaan, potensi energi surya, angin, dan panas bumi sangat melimpah.
“Tiga bulan lalu, Indonesia mempublikasikan target pembangkitan listrik sebesar 103 gigawatt, dan 75 persennya berasal dari energi terbarukan. Ini signifikan, karena kapasitas eksisting kita saat ini baru sekitar 75 gigawatt,” ungkap Anin.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa keberhasilan transisi energi tidak hanya bergantung pada pendanaan, tetapi juga pada transfer teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
“Sebenarnya yang kami butuhkan bukan hanya uang. Kami bisa usahakan itu. Tapi yang lebih penting adalah keterampilan, teknologi, dan kolaborasi,” ujarnya.
Load more