LIVESTREAM
img_title
Tutup Menu
Daerah Sulawesi Sumatera Jabar Banten Jateng DI Yogya Jatim Bali
Kolase Foto Pojok KC - Wapemred tvonenews.com Ecep S Yasa, background penunjukan Kaesang sebagai Ketum PSI.
Sumber :
  • tim tvonenews.com

Kaesang

Yang segera tampak bagi publik dengan cepatnya Kaesang didapuk sebagai ketua umum adalah hanya soal politik jalan pintas, instan, ketidaksediaan meniti proses politik secara sabar. 

Senin, 2 Oktober 2023 - 09:27 WIB

Semua terjadi dalam waktu tiga hari. Hari pertama seluruh pimpinan partai menyambangi Kaesang Pangarep di Solo untuk menyerahkan kartu anggota partai sekaligus menandai secara resmi putra bungsu Presiden Joko Widodo itu bergabung ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Esoknya elit partai bertolak ke Jakarta. Pada hari ketiga sebuah pertemuan telah menahbiskan Kaesang, pemuda berusia 28 tahun ini jadi nahkoda baru partai. 

Barangkali ini rekor tercepat dalam sejarah politik Indonesia ihwal partai politik mengangkat pucuk pimpinannya.

Saya percaya usia memang bukan segalanya. Seringkali kematangan politisi tidak ditentukan perkara usia. Tan Malaka sebelum menginjak 27 tahun sudah menjadi anggota Komintern (perhimpunan partai partai komunis di seluruh dunia) mewakili Asia Timur, Aidit pada 31 tahun mengantarkan PKI finis empat besar dalam pemilu paling demokratis pada 1955, Nyoto belum genap 16 tahun menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, Bung Hatta pada usia 24 tahun sudah jadi Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda.

Baca Juga :

Dalam politik kontemporer kita saat ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya kerap gonta ganti ketua umum tanpa ada gejolak yang berarti di partai politiknya, seakan-akan  di partai kader itu suatu saat siapapun harus siap terpilih sebagai ketua umum.

Tak ada yang menyangsikan bagaimana partai menggembleng Ahmad Syaikhu, Muhammad Sohibul Iman, Tifatul Sembiring, Nur Mahmudi Ismail, Hidayat Nur Wahid atau Didin Hafidhudin meskipun sebelumnya mereka bukanlah politisi skala nasional. Publik yakin karena sebagai organisasi politik PKS telah membangun sistem kaderisasi berjenjang yang ketat di partai politiknya.

Pada PSI kita tak menemukan "keyakinan" itu, selain bahwa Kaesang dipilih hanya karena keistimewaan sebagai putra Presiden Jokowi

Sebagaimana layaknya pemuda era sekarang, Kaesang memang pernah terdengar membangun perusahaan rintisan dan wirausaha di bidang kuliner, tapi terjun ke politik, jadi anggota salah satu parpol atau duduk pada jabatan publik kita tidak pernah mendengarnya.

Yang segera tampak bagi publik dengan cepatnya Kaesang didapuk sebagai ketua umum adalah hanya soal politik jalan pintas, instan, ketidaksediaan meniti proses politik secara sabar. Terasa sekali apapun dilakukan agar lolos ambang batas parlemen. Kepercayaan publik yang masih cukup tinggi pada Jokowi dianggap bisa terciprat ke PSI dan  dengan mudah parpol akan melenggang ke Senayan.

Agaknya kita perlu ingat lagi diksi kesabaran revolusioner yang pernah diucapkan Megawati Soekarnoputri. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) jadi salah satu parpol yang terkuat 'party ID'-nya saat ini, semacam derajat kedekatan warga dengan partai yang diyakini akan dipilih dalam pemilu. Tingginya 'party ID' karena sejarah panjang partai ini melawan penguasa Orde Baru. Ada kesetiaan menjalani proses politik yang keras, terjal dan berliku sebelum akhirnya dipercaya konstituennya.

Pada sikap PSI kita menyaksikan politik yang mati. Memang partai tetap tetap ada, paling tidak ada pertemuan rutin, tapi kita tidak melihat denyar-denyar gagasan dibahas lagi dengan riuh rendah di kegiatan politik PSI.

Tak ada adu gagasan soal pilihan pilihan kebijakan negara, memberikan alternatif atau mendesakan solusi. Misalnya apakah putusan berhutang untuk membiayai infrastruktur adalah kebijakan yang tepat. Bagaimana reformasi birokrasi seharusnya dilakukan. Bagaimana konflik lahan harusnya diselesaikan.

Kita tak mendengar percakapan dewasa dan cerdas, selain soal Kaesang harus jadi Ketua Umum. Kita juga tak mendengar alasan ideologis yang disampaikan. Juga tak terdengar ada kubu yang menolak, memilih berbeda atau berseberangan agar ada putusan yang lebih prismatis (seperti layaknya intan, ia indah karena digerus dari banyak sisi).

Perdebatan seperti dihindari karena mereka tak lagi terhubung dengan publik luas. Publik, konstituen, massa kebanyakan, saya kira sudah bukan lagi dianggap faktor. Pertemuan partai bukan lagi soal apa yang baik dan buruk bagi publik. Bahkan baik dan buruk bisa jadi sudah tak relevan karena partai, kendaraan bagi perjuangan gagasan sudah berubah jadi klik semata.

Ketika klik mendominasi dan kepentingan kelompok begitu berkuasa, politik mati diam-diam. Saya teringat, misalnya Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai kecil yang tak lolos pemilu, namun dikenang sebagai salah satu partai anak muda yang hidup dengan gagasan besar. Cita cita politiknya ketika itu, pada 1990-an untuk mencabut paket 5 Undang Undang Politik, Cabut Dwi Fungsi ABRI sangat bertaut dengan publik. 

(Budiman Sudjatmiko saat Deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) 22 Juli 1996. Sumber: Dok. Petrus Hariyanto)

Saya yang bukan kader dan anggota PRD tiba tiba bergerak ikut memperjuangkannya, meneriakannya dalam demonstrasi-demonstrasi di kampus, bahkan hingga harus mendekam di tahanan polisi.

Ketika politik sehat lenyap, kini kita bahkan kembali mendengar desas-desus, gosip, gerendengan politik seperti pada masa otoritarian dulu: ada sebuah kekuasaan yang ingin mewariskan dinasti politik. Putra sulung dan menantu jadi Wali Kota, putra bungsunya jadi Ketua Umum Partai. Tentu semuanya menggunakan stempel demokrasi.

Dan Jokowi, presiden yang maju ke pentas nasional karena faktor meritokrasi,--memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi--bukan karena kekayaan atau kelas sosial itu, tiba tiba merobohkan semua capaian yang harusnya jadi warisannya. 

Dengan apa Jokowi ingin dikenang setelah pada Oktober 2024 nanti ketika ia tak lagi jadi orang nomor satu di Indonesia? Jika pembangunan infrastruktur jawabannya, bukankah itu semua bisa mangkrak atau dibongkar oleh pemimpin berikutnya.

Saya teringat buku "Bagaimana Demokrasi Mati" karya dua ilmuwan politik  Harvard  Steven Levitsky dan Daniel Ziblat. Bak meniup peluit tanda bahaya, mereka mendedahkan kecenderungan demokrasi mati belakangan bukan lewat kudeta militer, tapi justru oleh pemimpin populis yang dihasilkan oleh pemilu. Memang keduanya tidak sedang bicara tentang Indonesia. Mereka sedang menulis terpilihnya Trump lewat pemilu dan kiprah setelah terpilih yang bak diktator di Amerika.

Tapi bukankah ada yang terasa akrab? Levitsky dan Ziblat menulis indikator untuk memeriksa apakah demokrasi berlangsung sehat. Pertama, ada penolakan atau komitmen yang lemah pada aturan main yang demokratis. Kedua, penolakan pada legitimasi lawan politik. Ketiga, toleransi atau dorongan pada kekerasan. Keempat, kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.

Melihat keempat indikator agaknya demokrasi kita memang tengah sakit. Belum lama Presiden Jokowi mengakui cawe-cawe pada kontestan yang tengah berlaga di arena kompetisi Pilpres 2024. Pada kelompok yang berbeda pilihan politiknya, bukan hanya dianggap sebagai lawan politik, tetapi juga harus disingkirkan, jika perlu 'menggunakan" hukum yang terasa keras dan menelisik. Kita juga mendengar ada diskusi diskusi politik yang didatangi relawan, tokoh tokohnya dikejar kejar.

Pada 16 Juli 1969, intelektual muda pemberani kita, Soe Hok Gie pernah menulis betapa tidak menariknya pemerintah Orde Baru yang baru saja berdiri (yang ia ikut mendirikannya). 

Dengan tajuk Betapa Tidak Menariknya Pemerintah Sekarang, Gie kecewa pada Presiden Soeharto, Menteri Luar Negeri Adam Malik, hingga jajaran menteri ekonomi: Emil Salim hingga Widjojo Nitisastro. Gie menyebut kerja pemerintah tak menarik, hanya tukang kredit, cari utang baru, dan cicil utang lama. Terasa tulisan Gie masih bergema lagi sekarang.

Gie bahkan mengirimkan hadiah pada rekan rekannya yang jadi anggota DPR-GR paket berisi perlengkapan kosmetik, seperti lipstik, bedak, cermin dan kumpulan tanda tangan. "Paket ini dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa," tulis Gie dalam paket itu.

Kembali ke PSI, saya memang pernah punya harapan ketika anak anak muda masuk ke politik. Pada mereka yang mau "tangannya kotor" untuk mengurusi soal soal yang lebih besar: keadilan, persamaan, kesejahteraan. "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda", kata Bapak Pendiri Republik Tan Malaka. 

Tapi melihat apa yang kini terjadi pada PSI saya merasa ada sebuah idealisme tengah melempem. Sebuah bunga harapan telah layu sebelum berkembang. 
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)

Komentar
Berita Terkait
Topik Terkait
Saksikan Juga
Jangan Lewatkan
Komite II Dorong Agar RUU KSDAHE Dapat Segera Disahkan Sebagai UU

Komite II Dorong Agar RUU KSDAHE Dapat Segera Disahkan Sebagai UU

Komite II DPD RI melakukan rapat tripartit untuk membahas RUU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) di Ruang Rapat Komisi IV DPR RI, Rabu (29/05/2024).
Saham BREN Anjlok 10 Persen dan Valuasinya Lenyap Rp150 Triliun Dalam Sehari, IHSG  Terseret Turun 1,56 Persen

Saham BREN Anjlok 10 Persen dan Valuasinya Lenyap Rp150 Triliun Dalam Sehari, IHSG Terseret Turun 1,56 Persen

Anjloknya saham emiten terbesar di BEI ini membuat nilai kapitalisasi pasar BREN berkurang hingga sekitar Rp150 triliun dalam sehari menjadi Rp1.354,6 triliun.
Polemik Kasus Vina Cirebon, Kompolnas Yakin dengan Hal Ini

Polemik Kasus Vina Cirebon, Kompolnas Yakin dengan Hal Ini

Polemik penanganan kasus pemerkosaan dan pembunuhan Vina Cirebon, telah menuai berbagai komentar dari segala pihak. Salah satunya dari anggota Kompolnas Yusuf
Jelang PPDB 2024 Bergulir, Pj Gubernur Jabar Bey Machmudin: Kalau Ada yang Tahu Satu Kursi Berapa Juta, Lapor Kami

Jelang PPDB 2024 Bergulir, Pj Gubernur Jabar Bey Machmudin: Kalau Ada yang Tahu Satu Kursi Berapa Juta, Lapor Kami

Pj Gubernur Jabar Bey Triadi Machmudin menegaskan bahwa proses PPDB 2024 harus berlangsung bersih dan transparan, terlebih operator yang menjadi pelaksana PPDB.
LaNyalla: Kebudayaan adalah Karakter dan Jati Diri Bangsa

LaNyalla: Kebudayaan adalah Karakter dan Jati Diri Bangsa

Semangat memupuk jati diri bangsa dihembuskan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Denpasar, Bali.
Viral Pengobatan Alternatif Brahmana Sanjaya Dipalak di Kebumen, Begini Klarifikasi Kepala Desa

Viral Pengobatan Alternatif Brahmana Sanjaya Dipalak di Kebumen, Begini Klarifikasi Kepala Desa

Pengobatan alternatif Brahmana Sanjaya yang hadir di Desa Dorowati Kecamatan Klirong Kabupaten Kebumen, selama 3 hari, Sabtu–Senin 25–27 Mei 2024 mengundang kontroversi.
Trending
Jadi Sorotan, Ini Status Facebook Pegi Setiawan Sebelum Kasus Pembunuhan Vina, Alasan Tak Terduga Pengacara Putri Maya Rumanti Bantu Keluarga Vina Cirebon

Jadi Sorotan, Ini Status Facebook Pegi Setiawan Sebelum Kasus Pembunuhan Vina, Alasan Tak Terduga Pengacara Putri Maya Rumanti Bantu Keluarga Vina Cirebon

Unggahan media sosial Facebook pelaku pembunuhan Vina Cirebon, Pegi Setiawan menjadi sorotan warganet hingga alasan Putri Maya Rumanti bantu keluarga Vina.
Prediksi Legenda Timnas Belanda soal Program Naturalisasi Timnas Indonesia, Van Bronckhorst: Sepuluh hingga Dua Puluh Tahun ke Depan…

Prediksi Legenda Timnas Belanda soal Program Naturalisasi Timnas Indonesia, Van Bronckhorst: Sepuluh hingga Dua Puluh Tahun ke Depan…

Legenda Timnas Belanda Giovanni Van Bronckhorst berbicara soal program naturalisasi yang ditempuh PSSI untuk menaikkan prestasi Timnas Indonesia, menurutnya ...
Peran Ayah Pegi di Kasus Vina Cirebon Terungkap, Pengamat Desak Panglima TNI Tarik Anggota Puspom dari Kejagung

Peran Ayah Pegi di Kasus Vina Cirebon Terungkap, Pengamat Desak Panglima TNI Tarik Anggota Puspom dari Kejagung

Peran ayah Pegi di kasus Vina Cirebon terungkap dan pengamat desak Panglima TNI menarik anggota Puspom dari Kejagung adalah dua berita paling banyak dibaca.
Angkasa Pura 1 dan 2 Segera Bubar, Pemerintah Akan  Serahkan Pengelolaan Bandara ke...

Angkasa Pura 1 dan 2 Segera Bubar, Pemerintah Akan Serahkan Pengelolaan Bandara ke...

Penggabungan ini akan menjadikan PT Angkasa Pura Indonesia (API) sebagai pengelola bandar udara terbesar ke-5 dunia, dengan 36 bandara di seluruh Indonesia.
Teman Pegi Ungkap Sempat Datangi TKP Pembunuhan Vina pada Malam Kejadian, Namun Tak Tahu Jika Ternyata..

Teman Pegi Ungkap Sempat Datangi TKP Pembunuhan Vina pada Malam Kejadian, Namun Tak Tahu Jika Ternyata..

Salah satu teman Pegi bernama Bondol mengatakan, ternyata dirinya sempat mendatangi TKP pembunuhan Vina yang melibatkan Pegi alias Perong tersebut. Kata dia..
Pemain Timnas Indonesia Curhat soal Perilaku Shin Tae-yong Jelang Kualifikasi Piala Dunia 2026

Pemain Timnas Indonesia Curhat soal Perilaku Shin Tae-yong Jelang Kualifikasi Piala Dunia 2026

Ivar Jenner mencurahkan isi hatinya perihal perilaku Shin Tae-yong menjelang bela Timnas Indonesia pada kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, Juni nanti.
Ayah Pemain Keturunan Ini Takjub dengan Suporter Timnas Indonesia: Tidak Ada di Negara Lain

Ayah Pemain Keturunan Ini Takjub dengan Suporter Timnas Indonesia: Tidak Ada di Negara Lain

Pada pertandingan ini, Timnas Putri Indonesia menang dengan skor akhir 5-1 dan Claudia mencetak brace di pertandingan tersebut. 
Selengkapnya
Viral
Jadwal Hari Ini
Jam
Jadwal Acara
Kabar Petang
18:00 - 20:00
Apa Kabar Indonesia Malam
20:00 - 21:00
Indonesia Business Forum
21:00 - 22:00
Kabar Utama 2
22:00 - 22:30
Panggilan Baitullah
22:30 - 23:30
Kabar Hari ini
Selengkapnya