Wonosobo, Jawa Tengah – Meski telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi dan melakukan langkah penanggulangan kemiskinan. Angka kemiskinan di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah belum juga bergeser secara signifikan yakni tertinggi kedua se-Jawa Tengah.
“Angka kemiskinan di Wonosobo masih cukup tinggi, bahkan tertinggi kedua di Jateng, maka perlu perhatian dan penanganan khusus,” ungkap Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat usai mengunjungi Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta.
Melalui siaran persnya, Afif juga menyebutkan, Wonosobo perlu mendapatkan masukan dan intervensi penanganan makro dan mikro, yang dibarengi perbaikan data intervensi registrasi sosisal ekonomi (regsosek), serta adanya dukungan Satu Data Desa yang saat ini sedang dikembangkan di Wonosobo.
“Melalui kunjungan ini, Pemkab Wonosobo ingin mengurai angka ini bersama dengan BPS Pusat, kami ingin belajar lebih jauh, agar upaya yang kami lakukan juga efektif menekan angka kemiskinan,” harapnya.
Sementara itu, menurut Sekretaris Daerah Kabupaten Wonosobo, One Andang Wardoyo, Wonosobo telah melakukan strategi penanganan kemiskinan secara serius dan terukur, melalui intervensi makro dan intervensi berbasis individu dan keluarga.
“Angka kemiskinan di Wonosobo masih di kisaran 17,67% atau tertinggi kedua se-Jawa Tengah, kami telah menempuh beberapa upaya penanganan,” terangnya.
Di antaranya melalui pengendalian inflasi, menurunkan kesenjangan wilayah, pertumbuhan ekonomi eksklusif, perbaikan data terpadu, menurunkan pengangguran, kinerja TKPKD, perbaikan dan pendekatan layanan publik.
Sedangkan, intervensi berbasis individu dan keluarga, melalui jaminan sosial, pemenuhan sarana dasar, Gerakan Mayo Sekolah, pencegahan stunting, perbaikan layanan administrasi kependudukan, listrik gratis, pelatihan keterampilan, subsidi bunga pinjaman, fasilitasi pengembangan PIRT, dan bantuan pangan.
Menurut Andang, tantangan yang masih menjadi kendala di lapangan adalah belum selesainya data sasaran intervensi antar kementerian dan tingkat kabupaten juga tidak sama. Selain itu, ukuran kemiskinan juga belum sesuai dengan karakteristik daerah, serta intervensi mikro masif yang sudah dilaksanakan ternyata tidak signifikan menurunkan angka kemiskinan.
Menanggapai hal tersebut, Kepala BPS Pusat, Margo Yuwono menyampaikan, Wonosobo perlu memahami karakteristik kemiskinan.
“Apa sih ciri kemiskinan di Wonosobo? Wonosobo juga perlu mencari rumah tangga dengan karakteristik, data by name by address sebagai sasaran intervensi penanganan kemiskinan, dan data regsosek dapat menjadi referensi data ini. Mengingat data regsosek ini akan diklasifikasikan secara berjenjang dari keluarga miskin ekstrem hingga keluarga kaya,” paparnya.
Dengan itu, penanganan kemiskinan di Wonosobo akan lebih fokus dan tepat sasaran pada klasifikasi tertentu yaitu efektivitas program penanganan kemiskinan dengan merumuskan program yang betul-betul memiliki relevansi kuat terhadap angka kemiskinan.
Memastikan input dan output program penanganan kemiskinan dapat berjalan dengan lancar dan benar, tidak ada kebocoran dalam program penanganan kemiskinan.
”Mengukur angka kemiskinan melalui pendekatan konsumsi, perbaikan budaya konsumsi mutlak dilakukan, sebab daerah miskin tinggi, stuntingnya juga akan tinggi, sehingga intervensi penanganan kemiskinan dalam jangka pendek adalah intervensi pada konsumsi masyarakat, sementara intervensi fisik berupa bedah rumah tidak layak huni lebih efektif mengatasi kemiskinan jangka panjang,” ujarnya.
Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial, Ateng Hartono, jika Wonosobo ingin memberi stimulant atau bantuan kepada masyarakat miskin agar dapat memilih database basket komoditi dasar makanan dan non makanan dengan memilih yang kontribusinya paling besar.
Tak hanya itu, juga harus mencermati 3 hal yakni indikator utama kemiskinan, persentase penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan.
“Pendekatan yang perlu dilakukan adalah memberikan bantuan berdasar database Basket Komoditi yang memiliki kontribusi besar turunkan angka kemiskinan, usia kurang dari 15 tahun berilah bantuan pendidikan, usia 15 sampai 64 berilah lapangan pekerjaan dan usia 65 ke atas berilah bantuan komoditi dasar untuk lansia,” pungkasnya. (Rbo/Dan)
Load more