Presiden Soeharto.
Sumber :
  • Wikimedia

25 Tahun Reformasi, Masih Marak Terjadi Intoleransi

Sabtu, 20 Mei 2023 - 20:03 WIB

Jakarta, tvOnenews.com - Reformasi telah berjalan selama 25 tahun di Indonesia. Reformasi bergulir sejak diruntuhkannya rezim Orde baru oleh para mahasiswa dan segenap rakyat Indonesia pada 12 Mei 1998.

Mantan aktivi 98 Taufan Hunneman mengatakan, ada peristiwa lain selain tragedi Trisakti yang menyebabkan jatuhnya Orde Baru.

"Selain peristiwa penembakkan Trisakti, kebangkrutan Orde Baru makin nyata setelah Sekretaris Jenderal Aldera, Pius Lustrilanang membongkar penculikan dan kesaksiannya, dan  membuka kotak pandora politik yang diterapkan Soeharto. Puncaknya, Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun meletakkan jabatannya pada 21 Mei 1998. Sejak Itu Indonesia masuk ke era baru bernegara, dari kungkungan rezim otoriter menuju pemerintahan yang demokratis."ucap Taufan Hunneman dalam keterangan tertulis, hari Sabtu (20/05/2023).

Taufan melanjutkan, di alam reformasi yang demokratis, harapan segenap rakyat Indonesia untuk kehidupan yang lebih baik mencuat begitu besarnya.
Pemerataan ekonomi, terbukanya keran informasi, kebebasan berserikat dan bependapat, kepastian hukum menjadi segelintir harapan yang diidam-idamkan masyarakat di era reformasi.

"Namun nyatanya, semua itu belum bisa terwujud. Masih ada oknum pejabat dan politisi busuk yang mencoba membajak reformasi di Indonesia. Salah satu agenda reformasi, yakni pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) belum tuntas. Perilaku korup masih menjadi momok yang menakutkan di era reformasi,: imbuhnya.

Taufan sebagai Eksponen 98 dari Alumnus Universitas Jayabaya menuturkan, dalam 25 tahun terakhir, semangat reformasi seakan berubah menjadi kleptokrasi alias kekuasaan yang diisi oleh praktik korupsi hingga oligarki alias kekuasaan oleh sekelompok orang.

Upaya pelemahan terhadap lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terjadi, mulai dari kasus Cicak VS Buaya, kriminalisasi pimpinan KPK hingga revisi UU KPK yang dituding melemahkan lembaga antirasuah itu. Hal lain yang menjadi perhatian di era reformasi ini adalah urgensi disahkannya RUU Perampasan Aset.

"RUU ini masih berkorelasi dengan perilaku korup yang masih menggurita di birokrasi dan pemerintahan pasca reformasi. Namun nyatanya, RUU ini masih tertahan di parlemen, meski sudah tiga tahun diajukan oleh pemerintah. Padahal, RUU itu merupakan senjata ampuh untuk memberantas perilaku korup di negeri ini, sebab jika RUU Perampasan Aset disahkan, maka aparat penegak hukum akan lebih mudah dalam melakukan penindakan. Selain itu, pengembalian uang negara yang diambil oleh pejabat dan politisi korup akan lebih cepat, sehingga kesejahteraan masyarakat akan semakin mudah diwujudkan," tuturnya.

Taufan menjelaskan hal lain yang masih menjadi catatan di 25 tahun reformasi ini adalah masih maraknya tindakan intoleransi beragama di Indonesia. Keberagaman etnis, suku, budaya dan agama di Indonesia sejatinya menjadi kekayaan yang tidak ternilai bagi bangsa ini.

Namun, di era reformasi ini justru tumbuh subur kelompok-kelompok intoleran yang berupaya menghapus keberagaman tersebut. Hal ini terlihat dengan maraknya perda-perda syariah di berbagai daerah yang seakan menggerus nilai-nilai budaya yang telah tumbuh selama ratusan tahun.

"Belum lagi tindakan persekusi terhadap kelompok yang memiliki perbedaan penafsiran dalam keagamaan. Belum hilang ingatan kita mengenai peristiwa berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten pada Februari 2011 yang menimpa jemaat Ahmadiyah. Tak hanya di Cikeusik, kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah juga terjadi di sejumlah daerah, seperti Lombok, Sukabumi hingga Depok. Belum lagi pengusiran dan penyerangan terhadap penganut Islam Syiah di Sampang, Madura pada Agustus 2012," jelas Taufan yang merupakan salah satu pentolan eksponen 98.   

Menurtunya, daftar kasus intoleransi di Indonesia bertambah panjang dengan adanya sejumlah kasus pelarangan pendirian rumah ibadah, seperti gereja, pura dan vihara di sejumlah daeah. Sebagai gambaran, pada 2019 lalu, LSM Setara Institute menyatakan, ada 202 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2018. 

"Itu baru satu tahun. Jika ditelusuri lebih lanjut selama era reformasi, maka jumlahnya akan semakin membengkak, bahkan bisa mencapai ribuan kasus. Hal-hal tersebut di atas menjadi catatan bagi kita semua untuk menyelamatkan reformasi di Indonesia dari keterpurukan dan hilangnya semangat. Karena itulah diperlukan upaya konkrit dari segenap untuk masyarakat agar bisa mewujudkan reformasi yang ideal, seperti yang dicita-citakan pada 1998 lalu," pungkasnya. (ebs)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
01:45
06:24
02:32
03:00
05:18
00:58
Viral