LIVESTREAM
img_title
Tutup Menu
Daerah Sulawesi Sumatera Jabar Banten Jateng DI Yogya Jatim Bali
Bapak Perfilman Nasional, Usmar Ismail.
Sumber :
  • ANTARA/HO-Museum Penerangan Kominfo/am.

Usmar Ismail dan Pertanyaan Tentang Identitas Kebangsaan

“Saya lebih senang menganggap “Darah dan Doa” sebagai film saya yang pertama, yang seratus persen saya kerjakan dengan tanggung jawab sendiri,” tegasnya Usmar Ismail

Rabu, 10 November 2021 - 17:53 WIB

Jakarta,  - “Meskipun saya telah membuat dua film sebelum “Darah dan Doa”, film itu saya rasakan sebagai film saya yang pertama. Karena buat pertama kalinya sebuah film diselesaikan seluruhnya baik secara teknis-kreatif, maupun secara ekonomis oleh anak-anak Indonesia.”

Kata-kata itu ditulis Usmar Ismail dalam karangan berjudul “Film Saya yang Pertama” yang pertama kali terbit di majalah Intisari pada 1963 atau setahun setelah Dewan Film Nasional (DFN) menetapkan hari pertama syuting film “Darah dan Doa” sebagai Hari Film Nasional––meskipun baru dikukuhkan secara resmi oleh BJ Habibie melalui Keputusan Presiden No. 25 Tahun 1999.

Galib diketahui bahwa Usmar menganggap “Darah dan Doa” sebagai “film pertamanya” sebab produksi karya tersebut ia bidani sendiri melalui Perfini––perusahaan yang ia dirikan pada hari yang bersamaan dengan syuting perdana “Darah dan Doa”. Lebih-lebih karena Usmar merasa tak bisa memegang kendali penuh dalam produksi kedua film sebelumnya, ia merasa daya kreasinya terkekang ketika membuat film untuk perusahaan Belanda South Pacific Film Corporation (SPFC).

“Saya lebih senang menganggap “Darah dan Doa” sebagai film saya yang pertama, yang seratus persen saya kerjakan dengan tanggung jawab sendiri,” tegasnya lagi.

Kedua film Usmar sebelumnya adalah “Harta Karun” (1949) dan “Tjitra” (1949). Keduanya sama-sama diadaptasi dari naskah drama, yang pertama berasal dari naskah “L’Avare” karya sastrawan Prancis Moliere dan yang kedua berasal dari naskah yang Usmar tulis sendiri saat pendudukan Jepang.

Menariknya, Usmar menyebut bahwa film “Tjitra” sesungguhnya mencuatkan pertanyaan tentang kesadaran kebangsaan yang sebelumnya telah muncul pada kesenian lainnya seperti kesusastraan, seni rupa, dan seni suara. Ia juga mengakui bahwa “Tjitra” telah mendapat respon yang baik dari media massa pada zaman itu, namun tetap saja ia lebih suka mengedepankan “Darah dan Doa” sebagai karyanya yang pertama.

Di luar teknis perfilman, naskah drama “Tjitra” juga diapresiasi oleh berbagai kritikus, misalnya H.B. Jassin yang mengatakan bahwa karya tersebut membiaskan corak dan tokoh jiwa romantik dan pemuda yang penuh idealisme dalam masa starm and drang meskipun bertendensi propaganda.

Meski menuai respon bagus, tetapi “Tjitra” tak begitu laku di pasaran. Dan gara-gara hal tersebut, Usmar bertikai dengan sang produser SPFC, A.A. Denninghoff-Stelling, lantas memutuskan keluar dari perusahaan tersebut.

Penasbihan “Darah dan Doa” sebagai “film pertama” tak berhenti pada gagasan dari Usmar saja. Selama ini, film itu telah mendapat tempat istimewa karena dianggap dapat mewakili “identitas” kebangsaan yang menjadi titik tolak dalam sejarak film nasional.

Pada masa pendudukan Jepang, Usmar sempat bergabung bersama Pusat Kebudayaan Jepang (Keimin Bunka Sidosho). Meski tidak lama, ia memetik pelajaran penting dari sana. Film-film propaganda Jepang membuatnya mengerti bahwa film tak berhenti pada fungsi hiburan saja, melainkan juga fungsi sebagai medium komunikasi sosial. Menurutnya, hal tersebut telah mendorong upaya pembentukan film nasional di masa kemerdekaan.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, gelegak semangat revolusi masih hangat-hangatnya. Tak heran film-film 1950-1951 kental dengan nuansa patriotisme. Film “Darah dan Doa” pun mengambil bagian momen tersebut, apalagi ditopang dengan semangat yang diusung perusahaan besutan Usmar. Momen penyerahan kedaulatan, kata Usmar, membuka kemungkinan yang belum terjadi sebelumnya, yakni mengambil inisiatif dan tanggung jawab dalam produksi, baik finansial, teknis maupun artistik.

Selain “Darah dan Doa”, beberapa contoh lain dari film yang bermotif kehidupan gerilya pada masa itu meliputi “Inspektur Rachman” (PFN, 1950), “Bunga Bangsa” (Persari, 1951), “Djembatan Merah” (Bintang Surabaya), dan sebagainya.

Usmar menyebut “Darah dan Doa” sebagai film yang tidak mengikuti aliran Belanda atau Tionghoa, pun bukan beraliran propaganda Jepang. Ketika Sitor Situmorang membawakan naskah tentang long march TNI dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong di Jawa Barat, ia langsung tertarik dengan cerita tersebut. Usmar menggambarkan peristiwa bersejarah itu tak sekadar menggaungkan patriotisme, ia justru memotret dari kacamata kemanusiaan seorang yang terseret arus revolusi bernama Sudarto.

“Bolehlah dikata bahwa ini adalah usaha pertama untuk menggambarkan manusia Indonesia dalam lingkungan pergolakan-pergolakan yang berlaku di dalam dan di luar dirinya secara agak mendalam,” tulis Usmar.

Sisi manusiawi itu ditonjolkan melalui penggambaran karakter Sudarto yang menentang penumpasan dengan sesama bangsa serta bagaimana ia bisa jatuh cinta pada seorang gadis Jerman dan seorang perawat ketika memimpin barisan long march.

Hal tersebut menjadi catatan menarik, terutama bahwa Usmar menampilkan “identitas” bangsa lain ke dalam filmnya melalui sosok gadis Jerman. Dalam “Darah dan Doa”, bangsa asing tak menjadi liyan meski film diproduksi saat pascaperang revolusi.

Hal menarik lainnya, ia tak menempatkan tokoh Sudarto dalam patriotisme yang saklek. Itulah mengapa Usmar bercerita, “sebagian perwira Angkatan Darat di beberapa daerah yang menganggap saya tidak menggambarkan keperwiraan, tetapi melukiskan kelemahan seorang tentara.”

Pada sisi lain, Usmar tampak menunjukkan sikap ambivalen terhadap diskursus nasionalisme. Ia menampilkan wajah “keluwesan identitas bangsa” dan “keluwesan patriotisme” di dalam “Darah dan Doa”, tetapi pada saat yang bersamaan ia layaknya membentangkan garis pemisah antara film yang dibuat oleh tangan anak bangsa sendiri dan mana yang bukan.

Di tengah gelegak pascaperang, tak heran bahwa nasionalisme tahun 1950-an yang mencuat tampak “kaku”––bila tak ingin disebut sebagai sikap segregasi antarbangsa. Produk nasionalisme yang didefinisikan ialah segala sesuatu yang lahir dari bumiputera tanpa ada campur tangan bangsa lain. Barangkali itulah yang menjadi pergulatan di antara tahun-tahun tersebut.

Meski dalam karangan berjudul “Sari Soal dalam Film Indonesia” (majalah Star News, 1954) Usmar menyebut nama-nama sineas Belanda seperti G. Kruger (film “Loetoeng Kasaroeng” 1926) dan F. Carli (film “Njai Siti” 1930), ia belum mengeksplorasi lebih jauh tentang bagaimana film-film sebelum revolusi––yang masih ada campur tangan bangsa lain––turut mengambil peran dalam warna sejarah perfilman yang multikultural.

Hal tersebut juga tampak pada sikap Usmar yang menasbihkan film pertamanya pada “Darah dan Doa”. Padahal dalam pembacaan kacamata keluwesan multikultural, barangkali film “Harta Karun” dan “Tjitra” besutannya pun tak kalah monumental.

Usmar Ismail bukanlah bumiputra pertama yang membuat film. Ia sendiri mencatat para wartawan yang akrab dengan seni sandiwara, seperti Saerun, Andjar Asmara, Arifin, Suska, dan Inu Perbatasari, mulai membuat film cerita meski mereka masih bekerja untuk perusahaan Belanda dan Tionghoa.

Pula “Darah dan Doa” bukanlah film pertama yang dibuat di Indonesia––atau bernama Hindia Belanda kala itu––serta bukan film pertama yang memotret warna bangsa Indonesia.

Meski begitu, demikianlah titik mula perfilman nasional yang pada akhirnya disepakati oleh bangsa ini sebagai “komunitas terbayang”––jika meminjam istilah Benedict Anderson. Setelah tanggal 30 Maret diakui sebagai Hari Film Nasional, kini tepat 10 November 2021 bangsa Indonesia juga mengakui Usmar Ismail sebagai tokoh pahlawan nasional.

Masih dalam karangan “Film Saya yang Pertama”, Usmar telah menegaskan bahwa tokoh Sudarto bukanlah pahlawan dalam arti yang biasa. Usmar juga menggarisbawahi tentang bagaimana ia ingin menceritakan secara jujur kisah manusia Indonesia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah melalui “Darah dan Doa”.

Dua hal tersebut, yakni tentang pahlawan yang tak biasa dan propaganda, sangat erat kaitannya dengan diskursus nasionalisme. Itu pula yang dapat menjadi landasan atau titik tolak pengingat untuk mengajukan pertanyaan menantang tentang identitas kebangsaan kita. (ant/mii)

Baca Juga :
Komentar
Berita Terkait
Topik Terkait
Saksikan Juga
Jangan Lewatkan
Delapan Warga Tertimbun Longsor Dijalan Poros Penghubung Toraja Utara

Delapan Warga Tertimbun Longsor Dijalan Poros Penghubung Toraja Utara

Delapan warga tertimbun longsor yang terjadi dijalur trans sulawesi poros Buntao – Rantebua yang menghubungkan Kabupaten Toraja Utara dengan Kabupaten Luwu.
Ini Momen-momen VAR yang Buat Timnas Indonesia Melenggang ke Semifinal Piala Asia U-23

Ini Momen-momen VAR yang Buat Timnas Indonesia Melenggang ke Semifinal Piala Asia U-23

Meski VAR merugikan timnas Indonesia saat melawan Qatar. Namun, VAR saat melawan Korsel malah membantu skuad Garuda Muda melenggang ke semifinal Piala Asia U-23
Koalisi 02 Masih Setia di Pilkada Jakarta, Golkar Gandeng Demokrat, Gerindra dan PAN

Koalisi 02 Masih Setia di Pilkada Jakarta, Golkar Gandeng Demokrat, Gerindra dan PAN

Sekretaris DPD Partai Golkar Jakarta, Basri Baco mengungkapkan pihaknya masih akan bersama Demokrat, Gerindra dan PAN untuk maju di Pilkada Jakarta 2024 nanti.
Legenda Manchester United Park Ji Sung Ikut Komentari Prestasi Timnas Indonesia di Bawah Asuhan Shin Tae-yong: Saya Melihat…

Legenda Manchester United Park Ji Sung Ikut Komentari Prestasi Timnas Indonesia di Bawah Asuhan Shin Tae-yong: Saya Melihat…

Keberhasilan Timnas Indonesia U23 menuju semifinal Piala Asia U23 setelah mengalahkan Korea Selatan U23 mendapat sorotan dari legenda Manchester United Park Ji-
Golkar Tegaskan Masih Jagokan Zaki Iskandar hingga Ridwan Kamil Maju di Pilgub Jakarta

Golkar Tegaskan Masih Jagokan Zaki Iskandar hingga Ridwan Kamil Maju di Pilgub Jakarta

Sekretaris DPD Partai Golkar, Basri Baco menegaskan hingga saat ini setidaknya ada tiga nama yang dijagokan oleh Golkar untuk maju ke bursa Pilgub Jakarta 2024
Ketua KPU RI Bantah 2 Anggotanya Kader Aktif Partai Gerindra dan PBB

Ketua KPU RI Bantah 2 Anggotanya Kader Aktif Partai Gerindra dan PBB

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari bantah dua anggotanya yakni Natalius Tabuni dan Henky Tinal adalah kader Partai Gerindra dan PBB. Begini penjelasan lengkapnya.
Trending
Alasan Nathan Tjoe-A-On Tak Ikut Menendang dalam Sesi Adu Penalti Timnas Indonesia U-23 Vs Korea Selatan

Alasan Nathan Tjoe-A-On Tak Ikut Menendang dalam Sesi Adu Penalti Timnas Indonesia U-23 Vs Korea Selatan

Nathan Tjoe-A-On tidak ikut menendang dalam sesi adu penalti ketika timnas Indonesia U-23 mengalahkan Korea Selatan pada perempat final Piala Asia U-23 2024.
Reaksi Netizen Korea Selatan usai Timnya Kalah dari Timnas Indonesia U-23, Sebut Shin Tae-yong sebagai Pengkhianat

Reaksi Netizen Korea Selatan usai Timnya Kalah dari Timnas Indonesia U-23, Sebut Shin Tae-yong sebagai Pengkhianat

Netizen Korea Selatan sangat kecewa usai timnya disingkirkan Timnas Indonesia U-23 pada laga perempat final Piala Asia U-23 2024.
Komentar Pedas Jose Mourinho Pada Timnas Indonesia Terbukti, Dibawah Asuhan Shin Tae-yong Skuad Garuda Kini Bahkan Bisa Menembus...

Komentar Pedas Jose Mourinho Pada Timnas Indonesia Terbukti, Dibawah Asuhan Shin Tae-yong Skuad Garuda Kini Bahkan Bisa Menembus...

Komentar pedas mantan pelatih Chelsea, Jose Mourinho kini terbukti. Pasalnya dibawah asuhan Shin Tae-yong Timnas Indonesia kini menjelma menjadi tim kuat bahkan
Reaksi Pengamat Bola Malaysia usai Timnas Indonesia U-23 Bekuk Korea Selatan U-23, Tak Disangka Sampai Menyebut...

Reaksi Pengamat Bola Malaysia usai Timnas Indonesia U-23 Bekuk Korea Selatan U-23, Tak Disangka Sampai Menyebut...

Pengamat sepak bola Malaysia turut senang dengan kesuksesan Timnas Indonesia U-23 melangkah ke perempat final Piala Asia U-23 usai mengalahkan Korea Selatan U-23.
Netizen Korea Ngamuk Usai Negaranya Disingkirkan Timnas Indonesia di Piala Asia U23, Katanya Garuda Muda Itu seperti...

Netizen Korea Ngamuk Usai Negaranya Disingkirkan Timnas Indonesia di Piala Asia U23, Katanya Garuda Muda Itu seperti...

Usai disingkirkan Timnas Indonesia di babak perempat final Piala Asia U23, netizen Korea Selatan lampiaskan amarahnya karena anggap ini kekalahan memalukan.
Bukan Shin Tae-yong, Sosok Ini Justru yang jadi Bulan-bulanan di Korea Selatan Setelah Timnas Indonesia U-23 Menang

Bukan Shin Tae-yong, Sosok Ini Justru yang jadi Bulan-bulanan di Korea Selatan Setelah Timnas Indonesia U-23 Menang

Shin Tae-yong tak melakukan selebrasi berlebihan saat tendangan penalti Pratama Arhan memastikan kemenangan Timnas Indonesia U-23 atas Korea Selatan U-23. 
Legenda Korea Selatan Park Ji Sung Ikhlas Akui Skuad Shin Tae-yong, Jujurnya Pengakuan Pengamat Sepak Bola Australia soal Permainan Timnas Indonesia

Legenda Korea Selatan Park Ji Sung Ikhlas Akui Skuad Shin Tae-yong, Jujurnya Pengakuan Pengamat Sepak Bola Australia soal Permainan Timnas Indonesia

Ini berita paling top. Legenda Korea Selatan Park Ji Sung ikhlas akui skuad Shin Tae-yong hingga jujurnya pengakuan pengamat sepak bola Australia soal permainan Timnas Indonesia.
Selengkapnya
Viral
Jadwal Hari Ini
Jam
Jadwal Acara
Ragam Perkara
16:00 - 17:00
Kabar Petang Pilihan
17:00 - 18:30
Kabar Petang
18:30 - 20:00
Apa Kabar Indonesia Malam
20:00 - 21:00
Perempuan Bicara
21:00 - 22:00
Kabar Utama
Selengkapnya