Jakarta, tvOnenews.com - Guru Besar Hukum Pidana, Prof. Romli Atmasasmita, meminta agar DPR RI dan pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu 2024.
Hal itu disampaikan dalam acara diskusi bertajuk ‘Arah Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Sengketa Pemilu Presiden 2024’.
Adapun bagian yang diminta revisi adalah terkait hukuman pelanggaran Pemilu.
Seharusnya, ketentuan hukuman pelanggaran Pemilu harus dipertegas lagi, menjadi kejahatan pemilu lantaran telah merugikan orang banyak.
"Kesimpulan saya melihat undang-undang itu adalah tampaknya undang-undang itu menyederhanakan pelanggaran Pemilu sama dengan penipuan pemalsuan surat, dan berita bohong dan sebagainya yang kita kenal sehari hari dalam undang-undang hukum pidana," kata Romli di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (1/4/2024).
Dia menyayangkan hukuman bagi pelanggaran Pemilu itu hanya setara pidana ringan.
"Coba bayangkan ada hukuman 6 bulan kurungan, coba bayangkan tiap rampok mencederakan ratusan jiwa suara, sebenarnya pemalsuan perusakan, ini suara yang dikorupsi," terangnya.
"Ini kalau kita bicara tindak pidana korupsi extraordinary crime, ini extra extra ordinary crime. Maka karena seperti itu lah kecurangannya terstruktur sistematis masif itu, kalau bahasa hukum pidana itu pemufakatan jahat sebetulnya,” tambah Romli.
Romli juga curiga ketentuan hukuman itu sudah direncanakan agar hukumannya ringsn.
Menurutnya, hukuman itu tidak membuat pihak yang melanggar menjadi jera.
"Saudara tahu nggak satu tahun dalam penjara? Prakteknya cuman 6 bulan paling lama. Paling lama 6 bulan di penjara itu bukan sesuatu yang membuat kita jadi jera, kapok; tidak. Hanya sementara waktu pindah rumah. Pindah tempat tidur sebetulnya," ungkapnya.
Dia turut menilai frasa pelanggaran tidak cocok untuk pemilu, seharusnya diubah menjadi kejahatan.
"Di KUHP kata pelanggaran saja sudah di hapus copy-an terbaru hanya kejahatan. Hanya tindak pidana, tidak ada lagi. Jadi istilah lalai, kelalaian itu sudah tak ada apalagi lalai kemudian memalsukan suara lalai mengintimidasi mana ada lalai," paparnya.
Oleh karena itu, dia meminta DPR dan pemerintah segera merevisi UU tersebut setelah sengketa Pilpres di MK.
“Kalau saya usulkan kalau tidak sanggup membuat norma yang jelas tegas juga diterent hapus ketentuan pidana, taruh saja di ketentuan pidana umum lebih besar 4 tahun dia penjara," kata dia.
"Maksimal juga satu tahun ada pidana juga sampe 12 juta jadi lebih besar kejahat-kejahatan biasa dibandingkan korupsi suara rakyat yang ratusan juta korbannya. Korban materiil coba bayangkan ada yang gila peristiwanya," tandasnya.(saa/lkf)
Load more