Sumatera - Permasalahan kafir-mengkafirkan manusia, masih menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat. Namun, bagi umat Islam secara induvidu dilarang untuk mengkafirkan orang Islam lainnya. Hal tersebut dikatakan secara tertulis oleh Majelis Ulama Islam (MUI) yang dilansir tvonenews.com dari mui.or.id, Selasa (6/9/2022).
Dalam Ijyima Ulama kelima MUI yang diselanggarakan di Tegal, mengeluarkan fatwa tentang hukum dan kriteria pengkafiran. Ada sepuluh (10) kriteria pengkafiran menurut fatwa MUI.
Kriteria pertama, MUI jelaskan, pada prinsipnya orang yang telah bersyahadat (beragama Islam) berlaku atasnya semua hukum-hukum Islam, dan orang yang keluar dari Islam (kafir) batal atasnya hukum-hukum Islam.
Bahkan, pernikahannya pun secara otomatis batal dan bila memiliki anak, tidak ada hak asuh baginya terhadap anaknya. Tak hanya itu saja, tidak ada hak untuk mewariskan dan mewarisi. Selain itu, jika meninggal dalam keadaan kufur, tidak dikubur di pemakaman Islam serta mendapat laknat dan akan jauh dari rahmat Allah.
Kriteria kedua, menurut fatwa MUI, kafir adalah orang yang menentang dan menolak kebenaran dari Allah SWT yang disampaikan RasulNya. Kemudian, ada empat macam kafir,
1. kafir inkar, yaitu mengingkari tauhid dengan hati dan lisannya
2. Kafir penolakan (Juhud), yaitu mengingkari dengan lisannya dan mengakui dalam hatinya
3. Kafir Mu’anid, yaitu mengetahui kebenaran Islam dalam hatinya dan dinyatakan oleh lisannya, namun ia menolak beriman
4. Kafir nifaq, yaitu menyatakan beriman dengan lisannya, namun hatinya mengingkari.
Selanjutnya, untuk kriteria yang ketiga, memvonis kafir (takfir) adalah mengeluarkan seorang muslim dari keislamannya, sehingga dinilai kafir (keluar dari agama Islam).
Untuk diketahui, takfir merupakan hukum syariat yang tidak boleh dilakukan oleh orang-perorang atau lembaga yang tidak mempunyai kredibilitas dan kompetensi untuk mengkafirkan orang lain. Sebab, vonis kafir harus diputuskan oleh lembaga keulamaan yang diotorisasi oleh umat dan negara.
Kemudian, kriteria yang keempat, munculnya di tengah masyarakat dua sikap ekstrim. Yakni, menganggap enteng bahkan meniadakan vonis kafir (tafrith fi at-takfir). Kemudian, mudah memvonis kafir (ifrath fi at-takfir).
Dalam hal ini, MUI mengingatkan Umat Islam agar menghindarkan diri tidak terjebak ke dalam salah satu dari dua ekstrim tersebut, seperti mengambil pendapat yang moderat.
Selanjutnya, untuk kriteria yang kelima, vonis kafir sedapat mungkin dilakukan sebagai upaya terakhir dengan syarat dan prosedur yang sangat ketat. Terkecuali, hal itu telah nyata dan meyakinkan melakukan satu dari tiga penyebab kekafiran, seperti Kekafiran I’tiqad (mukaffirat i’tiqadiyyah), Kekafiran Ucapan (mukaffirat qawliyyah), dan Kekafiran Perbuatan (mukaffirat ‘amaliyyah).
Kriteria keenam, MUI ungkapkan, vonis kafir ditetapkan setelah benar-benar memenuhi semua syarat-syarat pengkafiran. Seperti, ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kekafiran itu benar dilakukan oleh orang mukallaf, yaitu orang yang sudah akil baligh, dan berakal.
Kemudian, ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kekafiran itu benar dilakukan tidak dalam keadaan terpaksa. Akan tetapi, bila dipaksa untuk mengingkari Islam, sementara hatinya masih tetap beriman, maka tidak bisa ditetapkan atasnya vonis kafir.
Selain itu, ucapan yang menyebabkan kekafiran itu bukan akibat dari ketidak stabilan emosi atau fikiran. Misalnya, karena terlampau senang atau sedih. Selanjutnya, sudah sampai padanya hujjah dan dalil-dalil yang jelas. Sehingga apabila muncul penyebab kekafiran karena kebodohannya.
Misalnya, hal itu karena ia tumbuh di tempat yang jauh dari jangkauan Islam, atau baru saja masuk Islam. Maka dari itu, tidak boleh baginya divonis kafir.
Tak hanya itu saja, bahkan orang yang tidak karena syubhat atau takwil tertentu. Seseorang yang melakukan takwil atas nash dengan niat untuk mencapai kebenaran, bukan karena hawa nafsunya, seandainya ia salah dalam hal itu, maka tidak bisa ditetapkan atasnya vonis kafir.
Vonis kafir juga harus ditetapkan berdasarkan syara, bukan oleh opini, hawa nafsu, atau keinginan pihak-pihak tertentu. Apabila tidak demikian, maka tidak boleh dihukumi atau disebut kafir.
Semantara kriteria yang ketujuh, sebelum menetapkan vonis kafir, MUI terangkan, harus dilakukan terlebih dahulu beberapa ketentuan. Seperti, melakukan verifikasi dan validasi secara jelas semua hal-hal terkait dengan i’tiqad, perkataan, dan perbuatan yang menyebabkan kekufuran.
Kemudian, vonis kafir harus ditetapkan secara hati-hati sebagai langkah terakhir setelah upaya-upaya lainnya dilakukan. Hal ini maksudnya, agar menjaga jangan sampai umat Islam lainnya terjatuh pada kekufuran serupa.
Selanjutnya, menghindari pengkafiran individual-personal kecuali setelah tegaknya hujjah yang mu’tabarah. Lalu, vonis pengkafiran hanya boleh dilakukan secara kolektif oleh ulama yang berkompeten yang memahami syarat-syarat dan penghalang takfir.
Untuk kriteria yang kedelapan, setiap kesesatan yang ditetapkan setelah melalui prosedur penelitian dan fatwa yang ketat, dinyatakan MUI sudah pasti sesat.
Namun, tidak setiap kesesatan yang telah difatwakan otomatis adalah kekafiran dengan segala konsekuensi syar’inya.
Lalu, kriteria yang kesembilan, dosa besar yang dilakukan oleh seorang muslim tidak otomatis menjadikannya kafir. Dalam paham aqidah ahlussunnah wal jamaah, tulis tim MUI di kanal webnya mu.or,id, dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang meskipun dilakukan berulang-ulang tidak membatalkan syahadatnya sehingga tidak membuatnya menjadi kafir. Namun dengan catatan, selama dia tidak menghalalkan perbuatannya itu.
Semenyara kriteria yang terakhir yakni yang kesepuluh, MUI jelaskan, untuk memutuskan suatu keyakinan, ucapan, dan perbuatan adalah kufur, adalah kewenangan MUI Pusat dengan persyaratan dan prosedur yang ketat. (Aag)
Load more