“Penting untuk diketahui bahwa adanya kekuasaan untuk mengatur urusan manusia adalah termasuk kewajiban besar dalam agama, bahkan tidak akan tegak agama atau pun dunia tanpa adanya kekuasaan. Maka sesungguhnya anak adam tidak akan sempurna kemaslahatannya tanpa berkumpul karena di antara mereka saling membutuhkan, dan tidak bisa dihindari ketika mereka berkumpul adanya seorang pemimpin”
ستون سنة من إمام سائر أسلح من ليلة واحدة بال سلطان
" “Enam Puluh Tahun (di bawah) pemimpin yang sewenang-wenang lebih baik daripada satu malam tanpa (adanya) pemimpin”
“Selain dengan alasan karena kekufuran yang jelas, kita tidak boleh keluar dari waliyyul amri (pemimpin), jika pemimpin tersebut adil (ulama sepakat dalam hal ini), atau (menurut pendapat yang lebih benar) ketika pemimpin sewenang-wenang, karena tidak disyaratkan terhadap pemimpin seorang yang ma’shum (terjaga dari perbuatan salah). Para ulama terdahulu (salaf) sering melakukan kritik kepada para penguasa, tetapi para ulama salaf tetap tidak keluar dari kepemimpinan para penguasa tersebut, walaupun terlihat jelas dan sangat terkenal kesewenang-wenangan pemimpin tersebut, karena seorang imam (pemimpin) tidak boleh dikucilkan disebabkan kefasikannya, berbeda dengan hakim (qadhi), sesuai dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya: “taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepara rasul dan para pemimpin (ulil amri) di antara kalian”, dan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Khudzaefah ra.: “Barangsiapa memisahkan diri dari komunitas (al-jama’ah) walaupun satu jengkal maka ia telah melepaskan ikatan agama Islam dari lehernya. Menurut ajaran Islam (syara’) setiap manusia diwajibkan untuk mengangkat pemimpin (imam), sesuai dengan ijma’ (konsensus) para sahabat setelah wafatnya Nabi SAW. Yang segera mengangkat seorang pemimpin, sehingga mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang paling penting, dan mendahulukannya daripada mengubur Nabi SAW. Dan hal tersebut (mengangkat pemimpin sebagai kewajiban yang paling penting) senantiasa dipegang oleh setiap manusia di setiap zaman”
Pasal 28 D (3) UUD RI Tahun 1945 menyatakan bahwa ”setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. 28. Konsideran UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, point menimbang huruf b disebutkan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, tujuan utama penyelenggaraan pemilu adalah untuk menegakkan kemaslahatan, yang merupakan inti dari tujuan syari'ah (maqashid al-syari'ah).
Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
Itulah dasar-dasar dari keputusan MUI mengenai hukum memilih saat Pemilu.
Semoga artikel ini bermanfaat. (put)
Load more