Jakarta, Klik Disini - Pemerintah melalui Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 yang diinisiasi Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) pada 2021 berupaya untuk menciptakan alat tes untuk mendeteksi COVID-19 berbasis air liur atau saliva. "Kami sedang berupaya untuk mencoba mencari alternatif pemeriksaan usap (swab), yaitu pemeriksaan dengan menggunakan air liur atau saliva. Tentunya ini lebih nyaman bagi orang yang diambil sampelnya," kata Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang PS Brodjonegoro dalam Rapat Koordinasi Riset dan Inovasi Nasional 2021, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (27 Januari 2021).
Alat itu akan membantu dalam mendukung percepatan penanganan COVID-19 terutama di bidang pengujian (testing). Jika alat tes berbasis liur itu bisa diciptakan sebagai inovasi baru, maka akan menjadi alternatif untuk pemeriksaan COVID-19 yang akan lebih nyaman bagi masyarakat.
Masyarakat terkadang mengeluh merasa "kurang nyaman" saat melakukan pemeriksaan COVID-19 seperti melalui tes cepat antigen dengan cara mengambil sampel dari hidung dan tes cepat antibodi dengan mengambil darah dari ujung jari. Menristek Bambang menuturkan dalam pengembangan alat tes cepat COVID-19 tersebut, harus tetap memprioritaskan akurasinya.
Menurut Menristek Bambang, jika bisa menciptakan alat tes yang berbasis air liur, maka bisa mengurangi satu tahapan di dalam pengujian yakni ekstraksi RNA. Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 telah mengembangkan sejumlah alat tes COVID-19 seperti GeNose yang berbasis embusan nafas dan menggunakan kecerdasan artifisial untuk mendeteksi COVID-19, RT-LAMP Test Kit Covid-19 Detection, alat tes cepat (rapid test) COVID-19 untuk deteksi IgG/IgM, dan alat tes cepat berbasis antigen.
Konsorsium melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kata Menristek, juga mengembangkan alat deteksi COVID-19 yang lain yakni Reverse Transcription Loop-mediated Isothermal Amplification (RT-Lamp). "RT-Lamp yang diharapkan mempunyai tingkat 'reliability' dan akurasi yang sangat mendekati PCR sehingga bisa digunakan untuk melakukan 'testing' terutama untuk daerah-daerah yang kekurangan alat atau sedang mengalami lonjakan penderita COVID-19 dan keberadaan RT-Lamp," tuturnya.
Hasil tes dari alat skrining yang berbasis antigen seperti CePAD, dan RT Lamp dapat dikombinasikan dengan wearable device berbentuk gelang yang terhubung dengan internet untuk memantau kepatuhan mobilitas pengguna dengan hasil positif. Data hasil tes yang tersimpan juga dapat dimasukkan dalam aplikasi Health Pass atau paspor kesehatan untuk COVID-19.
Kemudian, kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan yang dilakukan konsorsium pada 2021 juga fokus memberikan dukungan untuk program vaksinasi COVID-19 yaitu dengan berupaya menciptakan alat pengukur antibodi dari seseorang yang telah menjalani vaksinasi COVID-19.
Alat pengukur kadar antibodi itu akan dikembangkan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. "Asal muasal dari teknologi ini sudah dilakukan ketika kita melakukan seleksi terhadap calon donor plasma konvalesen karena harus dicari calon donor yang kadar antibodinya tinggi sehingga bisa membantu pasien COVID-19," ujar Menristek.
Berangkat dari pemikiran tentang memanfaatkan teknologi tersebut maka kemudian konsorsium ingin mengembangkan suatu alat pengukur kadar antibodi (test kit) bagi orang yang telah mengikuti vaksinasi COVID-19. "Sehingga (pengukuran kadar antibodi) bisa dilakukan lebih luas dan bisa membantu proses vaksinasi baik sebelum vaksin maupun sesudah vaksin karena tentunya kita ingin vaksinasi memberikan manfaat optimal yaitu orang mendapatkan antibodi atau daya tahan terhadap COVID-19 yang dibutuhkan," tutur Bambang. (ari/ant)
(Lihat juga Viral! Surat Keberatan Eiger: Kualitas Video dan Audio Buruk!)